Ahad 03 Jul 2011 07:36 WIB

Kuartet Timur Tengah Bertemu di Washington Bahas Palestina

Red: Didi Purwadi
Perwakilan Kelompok Kuartet Tony Blair, Menteri Luar Negeri AS Hilary Clinton, Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov, Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon, Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa Catherine Ashton berpose setelah pembicaraan di Moskow 19 Ma
Foto: reuters pictures/daylife.com
Perwakilan Kelompok Kuartet Tony Blair, Menteri Luar Negeri AS Hilary Clinton, Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov, Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon, Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa Catherine Ashton berpose setelah pembicaraan di Moskow 19 Ma

REPUBLIKA.CO.ID,WASHINGTON - Para utusan dari Kuartet diplomatik Timur Tengah akan bertemu di Washington pada 11 Juli. Demikian kata seorang pejabat senior Amerika Serikat, Sabtu (2/7), menjelang upaya Palestina untuk mencari pengakuan PBB September depan.

Amerika Serikat bersikap ragu-ragu selama beberapa bulan mengorganisasikan pertemuan sebelum mengamankan kemajuan substansial menuju kembali ke perundingan antara Palestina dan Israel. "Akan ada pertemuan Kuartet di Washington pada 11 Juli," kata pejabat AS itu.

Uni Eropa, Rusia, PBB dan Amerika Serikat membentuk kuartet mengenai masalah Timur Tengah. Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton, Menlu Rusia Sergei Lavrov, Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon dan kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa Catherine Ashton akan berpartisipasi dalam rapat itu.

Menteri Luar Negeri Prancis Alain Juppe sebelumnya telah mengisyaratkan akan adanya pembicaraan itu. Perundingan perdamaian Israel-Palestina terhenti pada September 2010 ketika Israel gagal untuk memperbarui pembekuan parsial pembangunan permukiman Yahudi di Tepi Barat, wilayah Palestina yang diduduki.

Sejak itu, Palestina telah menolak untuk kembali ke meja perundingan selama Israel masih membangun permukiman di atas tanah yang mereka inginkan untuk negara Palestina masa depan. Para pemimpin Palestina berencana untuk mencari pengakuan atas negara mereka sesuai garis batas tahun 1967 sebelum Perang Enam Hari ketika Majelis Umum PBB bersidang pada September. Meskipun, hal tersebut mendapat penentangan Israel dan Amerika Serikat.

Perancis telah mengindikasikan bahwa pihaknya mungkin mengakui negara Palestina merdeka jika pembicaraan perdamaian tidak kembali kepada jalurnya sampai dengan September. Jerman, seperti juga Amerika Serikat, menentang langkah-langkah sepihak dan menerima posisi Israel bahwa kemajuan apa pun harus dilakukan melalui perundingan. Tetapi, masyarakat internasional mencatat bahwa Israel yang berusaha menghentikan perundingan dengan terus membangun permukiman di wilayah Palestina itu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement