Ahad 03 Jul 2011 15:23 WIB

Sejarah Hidup Muhammad SAW: Hikmah Perjanjian Hudaibiyah

Red: cr01
Ilustrasi
Foto: Wordpress.com
Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Setelah Perjanjian Hudaibiyah, agama Islam tersebar luas, berkembang lebih cepat daripada sebelumnya. Jumlah mereka yang datang ke Hudaibiyah ketika itu sebanyak 1.400 orang. Namun dua tahun kemudian, tatkala Rasulullah hendak membuka Makkah, jumlah mereka yang datang sudah mencapai 10.000 orang.

Mereka yang masih menyangsikan hikmah Perjanjian Hudaibiyah ini, sangat keberatan dengan klausul perjanjian yang menyebutkan, bahwa barangsiapa dari golongan Quraisy menyeberang kepada Nabi SAW tanpa seizin walinya, harus dikembalikan kepada mereka. Dan barangsiapa dari pengikut Rasulullah yang menyeberang kepada Quraisy, tidak akan dikembalikan kepada Muhammad.

Tanggapan Rasulullah SAW dalam hal ini, apabila ada orang yang murtad dari Islam dan minta perlindungan Quraisy, maka orang semacam ini tidak perlu lagi kembali kepada jamaah Muslimin. Dan siapa-siapa yang masuk Islam dan berusaha menggabungkan diri dengan kaum Muslimin, mudah-mudahan Allah akan membukakan jalan keluar.

 

Peristiwa-peristiwa yang terjadi sesudah itu memang membuktikan kebenaran pendapat Rasulullah SAW. Bahkan lebih cepat dari yang diduga para sahabatnya. Hal ini juga menunjukkan bahwa dengan Perjanjian Hudaibiyah tersebut Islam telah memperoleh keuntungan besar yang luar biasa. Dan dua bulan sesudah itu, terbuka jalan bagi Rasulullah untuk mengirimkan surat-surat kepada para raja dan kepala negara asing, mengajak mereka masuk Islam.

Peristiwa-peristiwa yang terjadi setelah itu juga membuktikan kebenaran pendapat Rasulullah lebih cepat dari yang diduga sahabat-sahabatnya. Abu Bashir Utbah bin Usaid datang dari Makkah ke Madinah sebagai seorang Muslim—keyakinan agamanya, ia dipenjarakan oleh Quraisy di Makkah, kemudian melarikan diri menyusul Nabi ke Madinah.

Sesuai dengan isi perjanjian, Abu Bashir mesti dikembalikan kepada Quraisy, sebab ia pergi tanpa seizin tuannya. Untuk itu maka Azhar bin Auf dan Akhnas bin Syariq mengirim surat kepada Nabi SAW supaya ia dikembalikan. Surat-surat itu dibawa  oleh seorang laki-laki dari Bani Amir yang datang bersama seorang budak.

 

"Abu Bashir," kata Nabi, "Kita telah membuat perjanjian dengan pihak mereka, seperti sudah kau ketahui. Suatu pengkhianatan menurut agama kita tidak dibenarkan.  Semoga Allah membuat engkau dan orang-orang Islam yang ditindas bersamamu merupakan suatu kelapangan dan jalan keluar. Berangkatlah engkau kembali ke dalam lingkungan masyarakatmu."

 

"Wahai Rasulullah, saya akan dikembalikan kepada orang-orang musyrik yang akan menyiksa saya karena agama saya ini," kata Abu Bashir.

 

Nabi SAW kemudian mengulangi kata-kata tadi. Dan kedua orang itu pun berangkat. Sesampai di Dzul Hulaifa, Abu Bashir meminta kawan seperjalanannya dari Bani Amir agar memperlihatkan pedangnya. Setelah menggenggamnya erat-erat, Abu Bashir mengayungkan pedang itu tubuh si lelaki Bani Amir hingga tewas. Sang budak yang melihat kejadian tersebut, lari ke jurusan Madinah dan langsung menemui Nabi.

 

"Orang ini tampaknya dalam ketakutan," kata Rasulullah setelah melihat orang itu. Lalu beliau bertanya kepadanya, "Apa yang terjadi?"

 

"Teman tuan membunuh teman saya," jawabnya.

 

Tidak lama kemudian Abu Bashir muncul dengan membawa pedang terhunus dan berkata kepada Rasulullah. "Wahai Rasulullah, jaminan tuan sudah terpenuhi, dan Allah sudah melaksanakan buat tuan. Tuan menyerahkan saya ke tangan mereka dan dengan agama saya itu saya tetap bertahan, supaya jangan dianiaya atau dipermainkan."

 

Sebenarnya Rasulullah tidak dapat menyembunyikan kekagumannya dan harapannya pada Abu Bashir. Sesudah itu Abu Bashir berangkat juga. Ia berhenti di Al-Ish, di pantai sepanjang jalur  Quraisy ke Syam.  

Dalam Perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah dan Quraisy menetapkan jalan ini sebagai lalu lintas perdagangan, yang tidak boleh diganggu oleh kedua belah pihak. Namun setelah Abu Bashir pergi ke daerah itu, dan hal ini didengar oleh kaum Muslimin yang tinggal di Makkah serta tentang kekaguman Rasul kepadanya, sebanyak 70 orang laki-laki dari mereka menggabungkan diri dengan Abu Bashir di tempat tersebut. Ia kemudian dijadikan pemimpin oleh mereka.

Kini Abu Bashir dan rekan-rekannya mencegat Quraisy dalam perjalanan itu. Setiap orang yang berhasil mereka tangkap, mereka bunuh dan setiap ada kafilah dagang yang lewat tentu mereka rampas. Ketika itulah Quraisy menyadari bahwa hal ini merupakan suatu kerugian besar bagi mereka apabila kaum Muslimin masih tetap tinggal di Makkah.

Bagi Quraiys, usaha mengurung orang yang benar-benar teguh imannya, lebih  berbahaya daripada membebaskannya. Tentu mereka akan mencari kesempatan untuk lari, dan akan melancarkan  perang yang tak berkesudahan terhadap mereka yang mengurungnya. Dan Quraiys juga yang akan rugi. Quraisy teringat ketika Nabi SAW hijrah ke Madinah, beliau mencegat perjalanan kafilah mereka. Perbuatan semacam  itu mereka khawatirkan akan diulangi oleh Abu Bashir.

 

Sehubungan dengan inilah mereka lalu mengutus orang kepada Nabi SAW, meminta beliau agar menampung kaum Muslimin Makkah, serta membiarkan lalu lintas kembali aman. Dengan demikian Quraisy telah mundur selangkah dari apa yang secara gigih disyaratkan oleh Suhail bin Amr—bahwa Muslimin Quraisy yang pergi menyeberang kepada Rasulullah tanpa seizin walinya harus dikembalikan ke Makkah. Dengan sendirinya klausul itu jadi gugur. Klausul yang dulu pernah membuat Umar bin Al-Khathab gusar karenanya, dan telah menyebabkannya marah-marah pada Abu Bakar. Selanjutnya, Rasulullah SAW menampung sahabat-sahabatnya itu dan jalan ke Syam pun kembali aman.

Sekali lagi, peristiwa-peristiwa yang terjadi itu membuktikan kebenaran kebijaksanaan Rasulullah. Membenarkan pandangannya yang jauh ke depan serta politiknya yang tepat sekali. Dan hal itu juga membuktikan bahwa ketika membuat Perjanjian Hudaibiyah, beliau telah meletakkan dasar yang sangat kokoh dalam politik dan penyebaran Islam. Dan inilah kemenangan yang nyata itu.

 

Dengan adanya Perjanjian Hudaibiyah ini segala hubungan antara Quraisy dan Rasulullah beserta kaum Muslimin menjadi tenang. Masing-masing pihak kini merasa aman pula. Quraisy mencurahkan seluruh perhatiannya pada perluasan perdagangan, dengan harapan moga-moga semua kerugian yang dialaminya selama perang dengan Muslimin dapat ditarik kembali.

 

Sebaliknya, Rasulullah SAW mencurahkan segenap perhatiannya pada kelanjutan dakwa Islam, menyampaikan ajarannya kepada seluruh umat manusia di segenap pelosok dunia. Beliau memfokuskan perhatian dalam rangka menciptakan ketenteraman kaum Muslimin di seluruh jazirah. Untuk itulah beliau mengirimkan beberapa utusan kepada raja-raja di sejumah negara, disamping mengosongkan orang-orang Yahudi dari seluruh Jazirah Arab, yang semuanya berhasil dilakukan seusai Perang Khaibar.

sumber : Sejarah Hidup Muhammad oleh Muhammad Husain Haekal
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement