Rabu 06 Jul 2011 15:12 WIB

Ketua DPR: Sejarah Sjafruddin Prawiranegara Harus Diluruskan

Red: Johar Arif
Ketua DPR, Marzuki Alie, memberi sambutan pada Seminar Nasional Peringatan Satu Abad Mr. Sjafruddin Prawiranegara di Universitas Indo Global Mandiri (UIGM) Palembang, Sumatera Selatan, Ahad (26/6).
Foto: Gur/Setjen DPR
Ketua DPR, Marzuki Alie, memberi sambutan pada Seminar Nasional Peringatan Satu Abad Mr. Sjafruddin Prawiranegara di Universitas Indo Global Mandiri (UIGM) Palembang, Sumatera Selatan, Ahad (26/6).

PALEMBANG - Sejarah tentang Mr. Sjafruddin Prawiranegara dalam perjuangan Negara Republik Indonesia harus diluruskan. Hal ini dikatakan Ketua DPR RI Marzuki Alie dalam sambutannya selaku pembicara kunci pada Seminar Nasional Peringatan Satu Abad (1911-2011) Mr. Sjafruddin Prawiranegara yang berlangsung di Aula Serbaguna Universitas Indo Global Mandiri (UIGM) Kampus B, Palembang, Sumatera Selatan, Ahad (26/6) lalu.

Marzuki Alie memaparkan, dalam pelajaran sejarah di sekolah-sekolah, Mr. Sjafruddin Prawiranegara dikenal sebagai tokoh pemberontak Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI-Permesta). Padahal, Sjafruddin adalah salah satu tokoh pendiri bangsa (founding fathers) di mana kiprah perjuangannya dalam sejarah negara Republik Indonesia sangat besar, di antaranya memimpin Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatera Tengah saat Soekarno-Hatta diasingkan Belanda ke Pulau Bangka tahun 1948. “Sudah kita usulkan agar pak Sjafruddin diberi gelar Pahlawan Nasional,” ungkap Marzuki Alie.

Dalam makalahnya yang bertema “Memahami Aspirasi Daerah untuk Mengukuhkan NKRI”, Ketua DPR menjelaskan, keterlibatan Sjafruddin dalam Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) merupakan simbol “perlawanan daerah” terhadap pemerintah Pusat, karena ketidakadilan dan ketimpangan-ketimpangan sosial-ekonomi yang terjadi.

Memahami hakikat aspirasi daerah, dengan mengutip pendapat filosof Yunani kuno, Plato dan Aristoteles, Marzuki mengatakan, negara ada dan terbentuk bukan ditujukan untuk negara itu sendiri, melainkan untuk manusia yang menjadi warganya. Negara semestinya memiliki tujuan yang tertinggi, paling mulia, dan terluhur dibanding persekutuan hidup lainnya.

Konsekuensinya, negara harus senantiasa mengupayakan kebaikan tertinggi, memberikan yang terbaik bagi rakyatnya. “Negara ada karena adanya rakyat, tanpa rakyat, negara tidak akan ada artinya”, tegasnya.

Marzuki menambahkan, tujuan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia ditegaskan dalam pembukaan UUD 1945, yaitu [1] melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, [2] memajukan kesejahteraan umum, [3] mencerdaskan kehidupan bangsa, [4] ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Pasca Reformasi 1998, Melalui amandemen UUD 1945, lahir beberapa lembaga negara yang hadir untuk memperkuat fungsi check and balances. amandemen UUD 1945 telah berusaha menjawab aspirasi Daerah, walaupun belum memuaskan kita semua. “Kita juga sudah membuat UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang diperbarui dengan UU No. 32 tahun 2004, yang akan kita revisi pada tahun sidang ini,” ujarnya menjelaskan.

Sjafruddin Penyelamat Negara RI

Ketua Umum Panitia Satu Abad Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Dr. (HC) AM. Fatwa, dalam sambutannya mengatakan, Mr. Sjafruddin adalah tokoh yang ditakdirkan selalu berada di garda depan perjuangan bangsa. “Mr. Sjafruddin lah yang menggagas mata uang Oeang Republik Indonesia (ORI) sebagai alat pembayaran yang sah dan menjadi atribut kemerdekaan dan kedaulatan RI,” ungkapnya.

Ketika Republik Indonesia berada di ambang kehancuran saat agresi militer II Belanda, dari hutan belantara Sumatera Tengah Sjafruddin tampil memimpin Pemerintah Darurat republik Indonesia (PDRI) dan sukses menyelamatkan eksistensi Negara Republik Indonesia.

 AM. Fatwa memaparkan, Sjafruddin adalah seseorang yang jujur, teguh pada pendirian, dan berani mengambil keputusan pada saat-saat kritis, serta siap tidak popular akibat keputusan yang diambilnya. Sikapnya yang jujur dan kritis baik di masa Soekarno maupun di masa Soeharto, menjadikan dirinya sosok yang tidak disukai. “Hal ini mengakibatkan perannya dalam sejarah perjuangan bangsa dinafikan, bahkan kalau bisa dicoret,” ungkap Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI ini.

 Kepada para peserta seminar, AM Fatwa mengingatkan, di masa reformasi ini dan menjelang 66 tahun peringatan Proklamasi Kemerdekaan, sudah sepatutnya bangsa Indonesia membaca ulang sejarah bangsa secara jujur, cerdas, dan dewasa. “Salah satu yang harus dibaca ulang secara seksama adalah Mr. Sjafruddin Prawiranegara,” tegasnya seraya menutup sambutannya dengan membacakan surat Mr. Sjafruddin yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia kepada Presiden Soekarno yang ditulisnya dari Palembang pada tanggal 15 Januari 1958.

 Seminar nasional ini menghadirkan tiga orang pakar menjadi nara sumber dalam sesi diskusi panel, yaitu Prof. Dr. Salim Said, pakar sejarah dan pengamat militer yang juga mantan dubes RI di Republik Cheko, Dr. Margarito Kamis, pakar hukum tata negara dari Univ. Khairun Ternate, dan Prof. Ansulian Rifai, SH., pakar hukum dari Univ. Sriwijaya Palembang. Diskusi dipandu oleh Dr. Murni, MA sebagai moderator. (Rn.Tvp)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement