Rabu 06 Jul 2011 16:22 WIB

Kemajuan Umat Islam Terganjal Budaya dan Pemahaman Agama

Rep: Agung Sasongko/ Red: Krisman Purwoko

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Tak bisa dipungkiri, sebagian besar umat Islam masih terjebak dalam garis kemiskinan. Kondisi itu tidak terlepas dari pengaruh budaya. Ketua MUI Bidang Pemberdayaan Umat, Anwar Abbas dengan merujuk pada Chaerul Tanjung, penasihat pemberdayaan umat MUI, mengatakan ada tiga hal mengapa umat Islam berada dalam garis kemisikinan. Pertama, miskin karena faktor budaya, kedua, miskin struktural, dan terakhir miskin teknis. “Dari tiga hal tadi, faktor budayalah yang paling dominan,” papar dia kepada republika.co.id, Rabu (6/7)

Sebagai contoh, kata Abbas, umat Islam  cenderung mengutamakan tradisi bersifat konsumtif seperti syukuran kelahiran, syukuran sunatan, syukuran perkawinan dan lainnya.“ Uang sudah terkumpul  seharusnya bisa menjadi hal produktif. Namun yang terjadi justru konsumtif, karena masyarakat menganggap tradisi macam itu sangat penting,” kata dia.

Meski demikian, kondisi itu bisa diubah. Caranya, dengan memberikan pemahaman keagamaan dalam perpekstif positif. Sebab, kebanyakan tradisi yang dijalankan bukanlah  murni ajaran Islam, namun sudah dimasukan tradisi lokal yang berbaur menjadi akulturasi. “Pandangan keagamaan yang diikuti umat dan akhirnya menjadi tradisi, selanjutnya menjadi budaya,” kata dia.  

Contoh lain, kata dia, ada semacam salah kaprah soal mana yang lebih dulu masuk surga apakah orang miskin atau kaya. Ketika mubaligh menyebutkan orang miskin yang didahulukan masuk surga tanpa diimbangi dengan penjelasan dan alasan dimaksud. Sudah dipastikan, umat akan menyalahartikan itu.

Ada pengalaman seorang bupati NTB, kata dia, yang diundang dalam seminar pemberdayaan ekonomi umat, Ternyata yang diundang  amsyarakat ekonomi lemah. Oleh mublig pada pembicara sebelumnya menyebutkan orang miskin itu masuk surga. “Kalau saya buat mereka kaya, maka saya khawatir membuat mereka lambat masuk surga. Kalau saya lanjutkan ceramah saya tidak akan didengar,” papar Abbas menirukan perkataan bupati NTB.

Jadi, kata dia, pandangan keagaman semacam ini perlu dijelaskan, kenapa orang miskin lebih dulu masuk surga, lalu jelaskan dalam  perspektif yang positif sehingga tidak ada pandangan sempit. Dengan “Umat harus diubah pandangannya.,” kata dia,

Contoh lainnya, kata dia, sebagian umat Islam cenderung  melihat menjadi pegawai lebih baik ketimbang menjadi pedagang. Padahal sembilan dari pintu rizki ada di dunia bisnis, ada satu yang tidak. Lalu mengapa sulit memasuki dunia bisnis. “Ini juga jadi masalah,” kata dia,

Ke depan,  menjadi tanggung jawab pemerintah, masyarakat, dan ormas islam untuk menyamakan dan memperluas cakrawala padangan soal keagamaan dan budaya. Pandangan ini selanjutnya memunculkan komitmen untuk maju. “Karena itu apapun yang menghambat kemajuan umat harus dihilangkan,” pungkas dia. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement