REPUBLIKA.CO.ID, JEMBER – Pengamat hukum dari Universitas Jember (Unej), Widodo Eka Tjahyana, menilai mafia pemilihan umum (pemilu) juga terjadi di tingkat daerah, namun yang menjadi perhatian publik kini masih tertuju di Jakarta.
"Sebenarnya kasus mafia pemilu sudah terjadi sejak Pemilu 2004, bahkan sudah menjalar ke daerah. Hal itu bukan menjadi rahasia lagi di kalangan politisi," kata Widodo, Ahad (10/7).
Menurut dia, kalangan politisi sudah mengetahui tentang harga satu kursi di DPR, hingga DPRD yang ditetapkan sejumlah oknum penyelenggara pemilu tingkat pusat hingga daerah.
"Ada seorang politisi yang ditawari kursi di DPR seharga Rp 700 juta, sedangkan kursi caleg di tingkat provinsi hingga daerah berkisar Rp 500 juta hingga Rp 100 juta," ungkap mantan staf ahli DPR dari akademisi Unej itu.
Ia menjelaskan, pengawasan terhadap penyelenggaraan pemilu sangat lemah, sehingga rawan terjadi praktik penyimpangan politik yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan satu kursi "panas" tersebut.
"Ke depan, perlu ada mekanisme pengawasan yang cukup ketat untuk memantau kinerja KPU. Memang tidak hanya proses pemilu legislatif di pusat yang harus diawasi karena di daerah juga sangat rawan terjadi praktik jual beli suara," jelas Widodo.
Panitia Kerja Mafia Pemilu di DPR, lanjut dia, mulai "kebanjiran" pengaduan dari sejumlah calon legislatif yang menjadi korban dugaan praktik permainan dalam penetapan kursi di daerah pemilihan (dapil) sejumlah daerah.
"Kalau laporan di daerah itu terbukti, maka mafia pemilu dalam penetapan kursi anggota dewan pada Pemilu 2009 bisa jadi marak. Ini sungguh ironis di tengah era reformasi saat ini," tegasnya.