REPUBLIKA.CO.ID, Beberapa sumber menyebutkan bahwa Dihyah bin Khalifah Al-Kalbi pernah mengalami perang Khaibar, namun dia juga yang telah pergi membawa surat kepada Heraklius. Selanjutnya surat itu dibacakan dan diterjemahkan di hadapan sang raja. Baginda tidak murka atau geram, juga tidak merencanakan hendak mengirim angkatan perangnya menyerbu negeri-negeri Arab. Sebaliknya malah surat itu dibalas dengan baik sekali. Ini pula agaknya yang menyebabkan beberapa ahli sejarah salah menduga, dikiranya sang telah masuk Islam.
Dalam waktu bersamaan Harits Al-Ghassani—salah seorang anak buah Heraklius—telah pula menyampaikan berita kepada Heraklius, bahwa ada seorang utusan Rasulullah datang kepadanya membawa surat. Heraklius melihat isi surat itu sama seperti yang dikirimkan kepadanya, mengajaknya memeluk agama Islam. Harits meminta persetujuan baginda hendak memimpin sendiri sebuah pasukan yang akan menghajar orang yang mendakwakan diri nabi itu.
Akan tetapi menurut Heraklius, lebih baik Harits berada di Yerusalem, dan orang yang menyerukan agama baru itu tak usah dipedulikan. Tidak terlintas dalam pikiran Heraklius, bahwa beberapa tahun setelah itu, Yerusalem dan Syam berada di bawah panji Islam, dan ibukota Islam pindah ke Damaskus.
Ada pun Kisra, Maharaja Persia, begitu surat Rasulullah yang mengajaknya menganut Islam itu dibacakan, ia sangat murka dan merobek-robek surat tersebut. Setelah kata-kata Kisra dan perbuatannya merobek surat itu disampaikan kepada Nabi, beliau berkata, "Allah telah merobek-robek kerajaannya."
Heraklius segera mengirimkan sepucuk surat kepada Bazan, pejabatnya di Yaman dengan perintah supaya kepala laki-laki yang di Hijaz itu (Rasulullah) segera dibawa kepadanya. Barangkali menurut perkiraan Kisra, ini akan meringankan pengaruh kekalahannya berhadapan dengan Heraklius.
Ternyata Bazan ini telah pula mengirimkan utusan dengan sepucuk surat kepada Rasulullah dan pada saat itu Kisra pun telah pula digantikan oleh putranya, Syiruya (Kavadh II). Peristiwa ini telah diketahui oleh Nabi sehingga sekaligus beliau dapat memberitahukan kejadian ini kepada utusan-utusan Bazan. Rasulullah meminta mereka menjadi utusan-utusan beliau kepada Bazan dan mengajaknya menganut Islam.
Sebenarnya penduduk Yaman sudah mengetahui bencana yang telah menimpa Persia dan sudah menduga pula akan hancurnya kerajaan tersebut. Berita-berita kemenangan Rasulullah atas Quraisy dan hancurnya kekuasaan Yahudi, juga telah sampai kepada mereka. Setelah utusan-utusan Bazan kembali dan pesan Nabi disampaikan kepada penguasa itu, dengan senang hati ia menjadi orang Islam dan tetap sebagai penguasa di Yaman.
Jawaban Muqauqis, penguasa Koptik di Mesir, tidak sama dengan jawaban Kisra. Bahkan lebih indah lagi daripada jawaban Heraklius. Kepada Rasulullah ia mengaku percaya, bahwa seorang nabi akan datang, tetapi kedatangannya itu di Syam. Ia menyambut utusan Rasulullah dengan segala penghormatan sebagaimana mestinya. Kemudian mengirimkan hadiah berupa dua orang dayang-dayang (Mariyah dan saudaranya, Sirin), seekor bagal putih, keledai, sejumlah harta dan bermacam-macam barang kerajinan Mesir lainnya. Mariyah kemudian diperistri oleh Rasulullah dan kemudian melahirkan Ibrahim. Sedang Sirin dihadiahkan kepada Hasan bin Tsabit.
Hadiah itu oleh Rasulullah diterima baik, dan disebutkan bahwa Muqauqis tidak sampai menganut Islam. Sebab dia takut kerajaan Mesir akan direnggut oleh Romawi. Kalau bukan karena itu, tentu ia akan sudah beriman dan termasuk orang yang telah mendapat hidayah pula.
Setelah kita ketahui adanya hubungan yang begitu baik antara Najasyi di Abisinia dengan kaum Muslimin, sudah wajar sekali bila balasannya juga akan sangat baik. Sehingga ada beberapa sumber menyebutkan bahwa Najasyi telah masuk Islam, meskipun ada juga segolongan Orientalis yang masih menyangsikan keislamannya. Akan tetapi disamping surat yang berisi ajakan kepada Islam disertai pula sepucuk surat lain dengan permintaan supaya umat Muslimin yang ada di Abisinia agar dapat dikembalikan ke Madinah.
Dalam hal ini Najasyi telah menyiapkan dua buah kapal yang akan mengangkut mereka dengan dipimpin oleh Ja'far bin Abi Talib. Dalam rombongan ini ikut pula Ummu Habibah (Ramlah binti Abi Sufyan) setelah suaminya, Abdullah bin Jahsy, meninggal sebagai seorang murtad.
Sekembalinya dari Abisinia, Ummu Habibah kemudian menjadi salah seorang istri Nabi dan Ummul Mukminin. Beberapa ahli sejarah mengatakan bahwa Nabi mengawini Ummu Habibah dengan maksud hendak mengadakan pertalian nasab dengan Abu Sufyan sebagai penegasan terhadap perjanjian Hudaibiyah.
Sebaliknya amir-amir (penguasa-penguasa) Arab, baik mereka yang dari Yaman atau dari Oman telah membalas surat Nabi itu dengan kasar sekali. Sedangkan Amir Bahrain membalasnya dengan baik dan dia pun masuk Islam. Sebaliknya Amir Yamamah memperlihatkan kesediaannya masuk Islam asal dia diangkat sebagai gubernur. Nabi SAW tidak menyukai sikapnya itu. Penulis-penulis sejarah menyebutkan, tidak berselang setahun kemudian, Amir Yamamah meninggal.
Rasulullah kembali dari Khaibar. Ja'far bersama-sama kaum Muslimin sudah kembali dari Abisinia, dan para utusan Nabi SAW juga sudah pula kembali dari tempat mereka tugas masing-masing. Mereka semua bertemu dan berkumpul lagi Madinah.
Kaum Muslimin tinggal di Madinah dengan aman dan tenteram, serta menikmati hidup dan keridhaan Allah. Masalah perang tidak mereka pikirkan lagi. Yang dilakukan hanyalah mengirimkan pasukan untuk menindak siapa saja yang bermaksud hendak melanggar hak-hak azasi manuisa (HAM), atau hendak merampas harta benda orang.
Setelah berjalan setahun—ketika itu bulan Zulqa'dah–Nabi pun berangkat dengan membawa 2.000 orang guna melakukan umrah pengganti, sesuai dengan ketentuan-ketentuan Hudaibiyah.