REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Mantan Menteri Kesehatan, Siti Fadillah Supari, bersama sejumlah tokoh memelopori penolakan terhadap pembahasan dan pengesahan RUU tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial di DPR RI.
Siti Fadillah yang kini menjadi anggota Dewan Petimbangan (Wantim) Presiden bersama tokoh koperasi, Sri Edi Swasono, dan Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja BUMN, Abdul Latif Algaff, pada Selasa (12/7) mendatangi Gedung DPR/MPR di Senayan, Jakarta. Mereka juga menggelar jumpa pers di Pressroom DPR/MPR.
Siti Fadillah menyatakan, semestinya berbagai pihak risau dengan pembahasan RUU tersebut, karena jika RUU ini disahkan maka hak pemerintah memberi jaminan sosial menjadi kewajiban bagi rakyat untuk membayar asuransi dengan alasan jaminan sosial. DPR sebaiknya memahami antara jaminan sosial dengan asuransi.
Siti Fadillah menjelaskan, jaminan sosial adalah kewajiban negara kepada warganya, sedangkan asuransi adalah kewajiban warga negara untuk membayar premi asuransi. "Saat ini sampai 21 Juli 2011, DPR bersama pemerintah sedang membahas terbitnya UU BPJS," ucapnya.
Siti Fadillah mengemukakan, RUU BPJS tidak sesuai dengan konstitusi negara. RUU ini adalah pesanan asing melalui lembaga-lembaga resmi yang ada di Indonesia. RUU ini mengubah hak sosial rakyat menjadi kewajiban rakyat. Artinya, pemerintah melepaskan tanggung jawabnya dalam melindungi warganya.
Dia menyatakan, RUU ini bertujuan memiskinkan rakyat dan mempertajam konflik antarburuh dengan majikan/pengusaha. RUU BPJS juga akan memunculkan konflik yang berbahaya, bila empat BUMN yang eksis dilebur menjadi satu karena menyangkut dana masyarakat senilai Rp190 triliun.
Karena itu, kata dia, isi RUU ini mengancam ketahanan dan keutuhan nasional dan memperlemah NKRI. "Pemerintah harus melindungi bangsa dari tanah tumpah darah Indonesia sesuai Pembukaan UUD 1945," ujarnya, menegaskan.
Berdasarkan Pasal 28 H ayat 3 UUD 1945, kata Siti Fadillah, setiap orang mempunyai hak atas jaminan sosial, termasuk PNS, buruh tani, Polri dan TNI sektor informal dan sebagainya.
"Perlindungan, pemajuan, penegakan serta pemenuhan hak azasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah (pasal 28 i Ayat 4)," kata Siti Fadillah.
Dia mengemukakan bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara (Pasal 34 Ayat 1). Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan (pasal 34 ayat 2 UUD 1945).
Jaminan sosial nasional, menurut Siti Fadillah, sebagai tanggung jawab pemerintah dalam melindungi rakyatnya sesuai amanat konstitusi. Jaminan sosial nasional sebagai hak sosial rakyat dan kewajiban pemerintah untuk membiayai melalui APBN. Karena itu, pemerintah tak perlu lagi memungut iuran, memotong gaji dan upah PNS, buruh dan prajurit.
Sedangkan Sri Edi Swasono mengemukakan, isi utama RUU BPJS adalah menarik iyuran wajib tiap bulan dari tiap warga negara, tanpa pandang bulu dengan alasan untuk jaminan sosial. Bagi warga negara yang tidak membayar iuran wajib, akan dikenai sanksi.
Dia mengatakan, RUU BPJS adalah "turunan" dari UU Nomor 40.2004 tentang sistem Jaminan Sosial Nasional yang keberadaannya atas sponsor pihak asing.
RUU BPJS meskipun arti dari BPJS adalah Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, namun isinya bukan tentang jaminan sosial tetapi berisi cara mengumpulkan dana masyarakat secara paksa, termasuk dana APBN untuk masyarakat miskin.
Dana-dana tersebut, kata dia, akan digunakan untuk kepentingan bisnis kelompok tertentu, termasuk perusahaan asing yang sulit dipertanggungjawabkan. Padahal, dana ini dikumpulkan dari seluruh rakyat.