REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Tim penyidik penanganan kasus pemalsuan surat Mahkamah Konstitusi (MK) terus menyidik kasus yang menyeret nama Ketua Divisi Komunikasi Politik Partai Demokrat, Andi Nurpati, itu. Kini penyidik memeriksa Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Bambang Eka Cahya Widodo, sebagai saksi dalam tindak pidana penggunaan surat palsu MK.
"Saya dimintai keterangan terkait dengan dugaan tindak pidana penggunaan surat palsu dalam kasus pemalsuan surat MK," kata Ketua Bawaslu, Bambang Eka Cahya Widodo, usai pemeriksaan di Bareskrim Mabes Polri, Jakarta, Selasa (12/7).
Bambang menambahkan dalam pemeriksaan tersebut ia diminta untuk menceritakan saat penggunaan surat palsu tersebut. Penyidik juga menanyakan siapa saja yang hadir dan membacakan surat palsu dan apa yang dilakukan dengan surat palsu itu. Namun ia mengaku belum mengetahui kalau itu surat palsu.
Akan tetapi, Bawaslu telah menyampaikan nota keberatan dalam Pleno Komisi Pemilihan Umum (KPU) agar dikaji surat mana yang memiliki kekuatan hukum. Pasalnya antara putusan dan penjelasan substansi surat ada perbedaan.
Kemudian Pleno KPU, lanjutnya, menjelaskan surat nomor 112 tertanggal 14 Agustus 2009 yang digunakan sebagai dasar untuk pengambilan keputusan. Maka dari itu, politisi Hanura, Dewie Yasin Limpo yang mendapatkan kursi DPR Daerah Pemilihan 1 Sulawesi Selatan.
Dengan tanggapan seperti itu, Bawaslu tetap menyampaikan keberatan karena melihat perbedaan dalam putusan dan substansinya. Keberatan itu yang menjadi dasar perdebatan di KPU. "Ternyata yang diputuskan adalah penjelasan itu palsu dari pernyataan Ketua MK, Mahfud MD," ujarnya.
Sebelumnya, MK menyatakan surat keputusan tertanggal 14 Agustus 2009 merupakan surat palsu. Dalam surat tersebut memutuskan politisi Partai Hanura, Dewie Yasin Limpo untuk kursi DPR Dapil 1 Sulsel. Padahal dalam surat asli tertanggal 17 Agustus 2009, MK memutuskan kursi tersebut dimiliki politisi Partai Gerindra, Mestariani Habie.