Kamis 14 Jul 2011 18:43 WIB

Tambahan Kewenangan Bawaslu Dipersempit Lagi, hanya Tangani Tipiring Pemilu

Rep: Esthi Maharani/ Red: taufik rachman

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA – Kewenangan untuk memutus sengketa pemilu dinilai bukan menjadi otoritas Bawaslu. Anggota Komisi II dari Fraksi PKS, Agus Purnomo menolak penambahan kewenangan itu.

Karena, Bawaslu itu bukan penyidik dan tidak memiliki kewenangan penyidikan. Tak hanya itu, lanjutnya, kalau kemudian keputusan Bawaslu final dan mengikat, maka Bawaslu akan menjadi badan yang tidak bisa disentuh dan tidak bisa diawasi.

“Karena itu saya berpendapat dia (Bawaslu) tidak boleh memiliki kewenangan memutus tapi kemudian dia boleh adukan dan prosesnya dilakukan di pengadilan,” katanya Kamis, (14/7). Artinya, Bawaslu tidak memutuskan suatu sengketa, tetapi hanya mengadukan jika terjadi pelanggaran ke pihak pengadilan.

Menurutnya, Bawaslu bisa ditempatkan layaknya jaksa. Maka, jika seandainya Bawaslu tidak puas dengan putusan pengadilan, putusan tersebut bisa banding hingga tingkat kasasi.

Penolakan ini pun membuat Komisi II belum memutuskan secara konkret penambahan kewenangan kepada Bawaslu untuk Pemilu 2014. Dalam rapat lanjutan pada Kamis (14/7) dibahas lagi mengenai hal tersebut.

Dalam perkembangannya, kewenangan Bawaslu memang ditambah tetapi tidak pada hal memutuskan sengketa pemilu. “Pengertian memutus (sengketa pemilu) yaitu seperti yang kita istilahkan dalam ranah hukum; tipiring (tindak pidana ringan), tapi ini menjadi tindak pidana pemilu ringan,” kata Wakil Ketua Komisi II, Ganjar Pranowo, Kamis (14/7).

Ia menjelaskan Bawaslu hanya diberikan kewenangan untuk membuat rekomendasi jika terjadi pelanggaran ringan. Contohnya, parpol bisa menjadi peserta pemilu jika dalam kepengurusannya melibatkan 30 persen perempuan di tingkat pusat. Jika kurang dari angka tersebut, maka parpol tersebut tidak boleh mendaftar. Dari pelanggaran itulah, Bawaslu memberikan rekomendasi kepada KPU untuk memberikan tindakan.

“Bawaslu tetap memberikan rekomendasi tapi tidak usah memutus. Tapi, KPU yang tidak melaksanakan rekomendasi itu berarti melanggar etik maka bisa dilaporkan ke DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu) dan diadili,” katanya.

Disepakati oleh Komisi II bahwa penambahan kewenangan Bawaslu tidak pada kewenangan memutus sengketa pemilu, tetapi penyelesaian. Dalam konteks ini, penyelesaian adalah bukan soal sengketa perkara perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU), bukan persoalan administrasi, dan bukan persoalan etik. Bawaslu bisa memutus untuk tindak pidana pemilu ringan.

Contoh kasus jika dalam masa kampanye ada dua partai berada dalam satu jadwal, maka Bawaslu bisa segara menyelesaikan persoalan tersebut. Tindakan itu bisa dilakukan agar tidak menggangu jadwal yang telah ditetapkan oleh KPU dan berpengaruh pada jadwal pemilu secara keseluruhan.

Sementara itu, disepakati pula dalam rapat tersebut mengenai penguatan Panwaslu di daerah. Yakni dibentuk panwaslu hingga tingkat provinsi yang permanen. “Sampai panwaslu provinsi saja, kabupaten/kota tidak. Ini sudah diketok,” katanya.

Alasannya, jika Bawaslu hanya bersifat ad hock dikhawatirkan pesta demokrasi tingkat local seperti pileg, pilgub, dan pemilukada tidak terawasi. Alih-alih terjadi sengketa dalam prosesnya, mereka tidak tahu harus melaporkan kemana atau siapa.

Bisa-bisa, sengketa itu masuk ke tingkat pusat alias Bawaslu. Tetapi, jumlah orang di Bawaslu diragukan untuk bisa menangani laporan dari seluruh Indonesia. “Panwaslu hingga tingkat provinsi itu untuk bisa membantu di tingkat penyelenggara daerah,” katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement