REPUBLIKA.CO.ID, Sultan Abdul Hamid II (1842-1918) adalah Sultan atau Khalifah Daulah Utsmaniyah yang menggantikan saudaranya, Sultan Murad V, pada 31 Agustus 1876. Sultan Abdul Hamid II lahir pada Rabu, 16 Sya'ban 1258 H/21 September 1842 M.
Ibunya meninggal dunia saat Abdul Hamid II baru berusia 10 tahun. Dia diasuh oleh istri kedua bapaknya, seorang wnita yang mandul. Ibu tirinya itu mendidiknya dengan pendidikan yang baik dan berusaha untuk menjadi ibu kandungnya.
Sultan Abdul Hamid II mencurahkan segenap kasih sayangnya, sebagaimana ida juga mewasiatkan bahwa harta yang dia tinggalkan hendaknya diberikan pada ibu tirinya. Sultan sangat terpengaruh dengan pendidikan ibu tirinya ini dan sangat kagum dengan ketenangan, sikap, dan suaranya yang selalu lembut. Semua sifat-sifat ini terefleksikan dalam kehidupannya sehari-hari sepanjang hayatnya..
Sultan Abdul Hamid II mendapat pendidikan regular di istana, di bawah bimbingan orang-orang yang sangat terkenal di zamannya, baik secara ilmu maupun akhlak. Dia belajar bahasa Arab dan Persia, sejarah, sastra dan ilmu-ilmu tasawuf. Ia juga piawai menulis syair dalam bahasa Turki.
Abdul Hamid II belajar secara serius bagaimana menggunakan senjata. Dia sangat jago memainkan pedang, juga menembak dengan pistol. Ia tak pernah melewatkan hari-harinya tanpa berolahraga. Dia demikian peduli dengan politik internasional, selalu mengikuti berita tentang posisi negerinya dari kabar-kabar tersebut dan memfokuskan perhatian secara teliti dan seksama.
Pada awal masa pemerintahannya, Sultan harus berhadapan dengan kediktatoran para menteri dan kekerasan politik pembaratan yang dipimpin oleh kelompok Utsmani Baru, yang terdiri dari kalangan terpelajar yang sangat terpengaruh Barat. Mereka orang-orang yang berhasil dibentuk oleh gerakan Freemasonry untuk menjadi pasukan dalam rangka merealisasikan target yang ingin dicapai.
Sultan Abdul Hamid II membentuk tim investigasi untuk mengungkap kasus pembunuhan Sultan Abdul Azis yang melibatkan Medhat Pasya, sang perdana menteri. Setelah itu, para terdakwa diajukan ke pengadilan mendapat vonis pengadilan.
Medhat Pasya divonis dengan hukuman pancung. Namun Sultan Abdul Hamid II memberikan keringanan agar dia tidak dipancung dan hanya dimasukkan ke dalam penjara. Setelah itu, dia diasingkan ke Hijaz dan ditempatkan di penjara militer. Ada juga yang mengatakan Medhat Pasya dibuang ke Eropa, ada pula yang mengatakan ia dibuang ke Thaif, selatan Makkah.
Sultan Abdul Hamid II adalah orang yang menentang sistem demokrasi dan hukum buatan manusia yang dikenal dengan istilah "Al-Masyruthiyah". Ia menolak sistem ini karena dianggap sebagai sistem dari Barat.
Masa pemerintahan Sultan Abdul Hamid II adalah masa yang penuh gejolak dan krisis multidimensi. Disamping itu, ada konspirasi internasional, baik yang datang dari dalam maupun dari luar. Oleh sebab itu, dia segera melakukan perbaikan sesuai dengan ajaran-ajaran Islam untuk membendung intervensi Eropa. Dia sangat bersemangat menerapkan syariat Islam.
Ia juga berhasil membentuk badan intelijen yang demikian kuat untuk membentingi negaranya dari dalam dan untuk mengumpulkan berita-berita dari musuh-musuhnya dari luar. Dia berupaya membangun Pan-Islamisme dan telah berhasil merealisasikan hasil yang demikian besar. Eropa terguncang dengan pemikiran strategis yang dibangun oleh Sultan Abdul Hamid.
Sultan Abdul Hamid II juga mengkampanyekan kesatuan umat ke berbagai wilayah seperti selatan Rusia, India, Pakistan, dan Afrika. Ia mulai mengundang banyak sarjana dari Afrika, India dan Nusantara (Indonesia) ke Turki sebagai bagian dari proyek pembangunan institusi pendidikan dan pembangunan masjid-masjid di seluruh wilayah Daulah Utsmaniyah.