REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --- Sebanyak 17 WNI di Arab Saudi terlibat kasus berat dan terancam hukuman mati atau qisas. Setelah Pemerintah Indonesia membayar diyat atau uang pengganti darah untuk membebaskan Darsem, pemerintah akan fokus pada enam WNI yang sudah mendapat pemafaan (tanazul) dan harus membayar diyat.
Lima orang WNI overstayers visa umroh asal dari Amuntai Kalimantan Selatan dan seorang tenaga kerja Indonesia (TKI) asal Bangkalan Jawa Timur.
Keenam WNI itu terlibat dalam dua kasus pembunuhan. Yaitu kasus keponakan, Hafidz bin Kholil Sulam, membunuh pamannya Muhammad Husin Ali Mukalim (keduanya orang Indonesia).Dan kasus kedua pembunuhan berkomplot yang dilakukan orang Indonesia kepada seorang WN Pakistan.
Kelima WNI yang tersebut yaitu Abdul Aziz Supiyani,Ahmad Zizi hartati,Muhammad Rusydi Muhli Jamli alias Muhammad Mursyidi,Saiful Mubarak Haji Abdullah dan Samani bin Muhmaad Niyan.
Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI),Jumhur Hidayat mengatakan bahwa Hafidz yang sejak 1999 mendekam di Penjara Makkah menjadi prioritas satgas TKI. Karena hafidz hanya diberi waktu oleh Mahkamah selama tujuh bulan untuk membayarkan diyat sebesar 400.000 real atau setara dengan Rp 900 juta, terhitung sejak Mei 2011.
''Pada bulan November 2011 mendatang diyat harus dibayar jika tidak akan dipancung,'' kata Jumhur. Sedangkan kasus lain yang juga menjadi prioritas adalah lima WNI yang membunuh WN Pakistan. Dimana setiap WNI harus membayar sebesar 1 juta real sehingga total diyat yang harus dibayar sebesar 5 juta real atau setara dengan Rp 12 miliar.