REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Andi Nurpati menerima 24 pertanyaan dari penyidik Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri terkait dugaan pemalsuan surat Mahkamah Konstitusi (MK). "Ada sekitar 24 pertanyaan. Materi pertanyaannya tanya saja kepada penyidik," kata Kepala Divisi Advokasi dan Bantuan Hukum Partai Demokrat, Denny Kailimang di Mabes Polri, Senin (18/7) malam.
Denny mengatakan, penyidik fokus mengajukan pertanyaan tentang surat keputusan MK tertanggal 14 dan 17 Agustus 2009 yang diduga palsu dan dibahas pada rapat pleno Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Andi Nurpati menjalani pemeriksaan kedua selama 13,5 jam sejak pukul 10.00-23.30 WIB di Bareskrim Mabes Polri. Menurut Denny, mantan anggota KPU tersebut, masih berstatus saksi dan kliennya siap memenuhi panggilan penyidik untuk memberikan keterangan tambahan.
Sementara itu, Andi Nurpati mengatakan penyidik mengajukan pertanyaan seputar hasil rapat pleno pertama KPU yang menggunakan surat MK Nomor 12 tertanggal 14 Agustus 2009 yang diduga palsu dan pleno terakhir. Penyidik juga menanyakan proses plenonya, bagaimana pengambilan keputusan dan siapa saja yang hadir pada rapat pleno dan surat keputusan berita acara KPU.
Andi menjelaskan dirinya tidak pernah menerima langsung surat yang diserahkan staf MK, namun supirnya yang menerima surat tersebut. "Sebetulnya saya sudah menolak untuk menerima surat itu, mestinya MK sudah paham aturan administratif yang seharusnya diserahkan ke kantor KPU," kata Andi.
Saat ini, Mabes Polri menyelidiki dugaan surat keputusan palsu dari MK Nomor: 112/PAN.MK/VIII/2009 tertanggal 14 Agustus 2009. Penyelidikan dugaan surat palsu tersebut, berdasarkan laporan dari Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD, terkait keputusan penetapan kursi calon anggota DPR RI dari Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) di Daerah Pemilihan Sulawesi Selatan I.
Polisi telah menetapkan satu tersangka dugaan pemalsuan dokumen negara tersebut, yakni juru panggil MK, Masyuri Hasan. Selain itu, penyidik juga telah memeriksa Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Bambang Eka Cahya Widodo, mantan Hakim MK, Arsyad Sanusi, dan putrinya, Nesyawati, serta beberapa saksi lain dari KPU dan MK.