REPUBLIKA.CO.ID, Ketika Khalid dan pasukannya sudah hampir sampai di Madinah, Rasulullah dan kaum Muslimin bersama-sama menyongsong mereka. Atas permintaan beliau, kemudian Abdullah bin Ja'far, putra Ja'far bin Abi Thalib, dibawa dan diangkatnya di depannya.
Orang ramai datang menaburkan tanah kepada pasukan itu seraya berkata, "Hai orang-orang pelarian, kalian lari dari jalan Allah!"
Tapi Rasulullah segera bersabda, "Mereka bukan pelarian. Tetapi mereka orang-orang yang akan tampil kembali, insya Allah."
Sungguhpun demikian, Rasulullah menghibur orang-orang yang baru kembali dari Muktah itu, namun sebagian Muslimin belum mau juga memaafkan mereka, sampai-sampai Salamah bin Hisyam tidak mau ikut shalat jamaah dengan Muslimin yang lain, khawatir masih akan terdengar suara-suara orang bila melihatnya: "Hai orang-orang pelarian, kalian lari dari jalan Allah!"
Rasulullah SAW sangat berduka setelah mengetahui bahwa Zaid dan Ja'far telah syahid. Beliau kemudian pergi sendirian ke rumah Ja'far, dijumpainya istri Ja'far, Asma' binti Umais yang pada waktu itu tengah membuat adonan roti. Sementara anak-anak Ja'far tengah bermain. "Bawa kemari anak-anak Ja'far itu," kata Nabi SAW.
Setelah mereka dibawa kehadapan beliau, Rasulullah menciumi anak-anak itu dengan Air mata berlinang menahan haru.
"Rasulullah," kata Asma' gelisah, seolah mendapat firasat apa yang telah terjadi. "Demi ayah bundaku, kenapa anda menangis? Adakah hal-hal yang menimpa Ja'far dan kawan-kawannya barangkali?"
"Ya, hari ini mereka telah gugur," kata Rasulullah, sementara air matanya kian deras mengucur.
Asma' tiba-tiba menangis kencang sehingga banyak wanita-wanita yang datang berkumpul.
Ketika beranjak pulang, Rasulullah berkata mereka, "Keluarga Ja'far jangan dilupakan. Buatkan makanan buat mereka. Mereka sekarang dalam kesusahan."
Ketika Rasulullah melihat putri Zaid bin Haritsah—bekas budaknya itu—datang, beliau langsung membelai rambutnya sambil menangis. Para sahabat ada yang merasa terkejut melihat Rasulullah SAW menangisi orang yang mati syahid. Beliau berkata, "Ini adalah air mata seorang kawan yang kehilangan kawannya."
Ada sumber yang menyebutkan, bahwa jenazah Ja'far dibawa ke Madinah dan dikebumikan di sana tiga hari kemudian setelah Khalid dan pasukannya sampai. Sejak hari itu, Rasulullah menyuruh orang-orang supaya jangan lagi menangis. "Kedua tangan Ja'far yang terputus, oleh Allah telah diganti dengan sepasang sayap yang menerbangkannya ke surga," sabda beliau.
Beberapa pekan kemudian setelah Khalid bin Walid dan pasukan Muslimin kembali dari Muktah, Rasulullah bermaksud hendak mengembalikan kewibawaan Muslimin di bagian utara jazirah itu. Dalam hal ini beliau menugaskan Amr bin Ash agar mengerahkan orang-orang Arab ke Syam, sebab Ibnu Amr ini memang berasal dari kabilah daerah itu. Tentu akan lebih mudah baginya untuk bergaul dengan mereka.
Namun setelah Amr bin Ash sampai di sebuah pangkalan air di daerah kabilah Judham yang disebut Silsil, ia mulai merasa khawatir. Ia segera mengirim kurir kepada Nabi SAW untuk meminta bantuan. Dan Nabi pun segera mengirim Abu Ubaidah bin Jarrah—dari kalangan Muhajirin yang tergolong Assabiqunal Awwalun—juga Abu Bakar dan Umar bin Khathab.
Sebagai orang yang baru masuk Islam, Rasulullah khawatir Amr bin Ash akan berselisih dengan Abu Ubaidah. Maka beliau berpesan kepada Abu Ubaidah, "Jangan berselisih!"
Akhirnya kejadian, begitu Abu Ubaidah tiba, Amr bin Ash langsung berkata, "Engkau datang kemari sebagai pembantuku. Pimpinan tentara di tanganku."
Abu Ubaidah adalah sosok yang lemah-lembut dan selalu tawadhu dalam masalah duniawi. Ia tidak terlalu mempersoalkan masalah kepemimpinan. "Rasulullah telah berpesan agar kita jangan berselisih. Kalau engkau tidak taat kepadaku, akulah yang taat kepadamu," ujarnya.
Dan dalam shalat jamaah Amr juga yang menjadi imam. Amr pun bergerak memimpin pasukannya, dan mereka berhasil mengalahkan pihak Syam. Dengan demikian kewibawaan Muslimin di wilayah itu dapat dipulihkan.
Sementara itu, Rasulullah tetap mengirim ekspedisi-ekspedisi untuk mencegah adanya pemberontakan kabilah-kabilah. Namun kegiatan ini tidak banyak menghabiskan banyak tenaga. Para utusan berdatangan menghadap dari segenap penjuru, menyatakan ketaatan dan kesetiaan penuh kepada beliau. Inilah yang merupakan pengantar pembebasan Makkah, dan menjadikan di tempat itu sebagai tempat yang paling disucikan untuk selama-lamanya.