REPUBLIKA.CO.ID, BRUSSEL – Komite Hak Asasi Manusia Uni Eropa mengkritik undang-undang pelarangan penggunaan cadar terhadap Muslim. Badan tersebut mengingatkan hukum tersebut hanya akan mengobarkan sentimen anti-Muslim ke penjuru benua.
"Hukum ini akan kian menguatkan stigma terhadap para wanita itu yang membuat mereka kian terasing dari masyarakat mayoritas lebih luas," ujar Komisi Hak Asasi, Dewan Eropa, Thomas Hammarberg, dalam pernyataan di website dewan, pada 20 Juli lalu.
"Melarang wanita berpakaian dengan cadar untuk memasuki bangunan publik seperti rumah sakit dan kantor pemerintahan hanya akan membuat mereka menghindari tempat-tempat itu sepenuhnya."
Beberapa negara Eropa memang telah menerapkan aturan pelarangan pengenaan jilban dan cadar di tempat-tempat umum. Belgia adalah negara Eropa terkini yang melarang cadar saat aturan itu efektif berlaku pada 23 Juli nanti.
Menurut aturan terbaru, wanita Muslim tak dibolehkan memasuki bangunan publik dengan menggunakan cadar. Bila wanita tersebut melanggar aturan, ia akan dihukum dengan denda sebesar 137,5 euro dan dipenjara tujuh hari.
Langkah Belgia menyusul tetangganya Prancis yang telah memberlakukan aturan larangan bercadar sejak April lalu. Paris juga melarang pemakaian jilbab di gedung publik sejak 2004.
Seruan larangan serupa juga bergaung di negara-negara lain seperti Australia, Swiss, Denmar dan Belanda untuk segera menerapkan aturan serupa.
Sementara di utara Italia, hukum anti-teror tua yang melawan penutupan wajah untuk alasan keamanan telah digunakan sejumlah otoritas lokal untuk menghukum para wanita yang bercadar.
"(Pelarangan) Ini bukanlah kebebasan," ujar Hammerberg.
Ia juga mengingatkan bahwa pelarangan terhadap cara berpakaian akan melanggar standar hak asasi manusia di Eropa. "Pelanggaran itu terutama dalam hak menghormati kehidupan pribadi seseorang dan identitas personalnya,"
"Secara prinsip, negara harus menghindari aturan yang melarang bagaimana orang berpakaian. Kami menentang keras setiap kekuasaan yang mengharuskan seorang wanita untuk berpakaian tertutup sepenuhnya hingga ke wajah. Ini sungguh sangat menindas dan tak seharusnya diterima. Namun, masalah itu tak bisa diselesaikan hanya dengan menyasar dan menghukum mereka," ujar Hammarberg.
"Cara berpakaian segelintir wanita yang digambarkan sebagai masalah utama hingga membutuhkan diskusi dan langkah hukum adalah kesimpulan menyedihkan dan bagian prasangka terhadap orang asing," ujarnya.
"Hukum pelarangan tak akan mengurangi masalah ketika seseorang yang lain tetap mengadopsi perilaku (berpakaian) dan cara tersebut," ujarnya.
Sentimen anti-Muslim telah berkembang di Barat ketika golongan kanan mulai mengupayakan larangan yang membatasi hak warga Muslim. Pada 2009, Swiss melarang pendirian menara masjid lewat referendum yang dimenangkan oleh golongan ultra kanan dari Partai Rakyat Swiss
Gerakan serupa juga terjadi di beberapa negara Eropa, termasuk pelarangan penggunaan jilbab dan cadar di bangunan milik institusi umum, seperti rumah sakit, sekolah dan gedung pemerintahan.
"Masalah lebih dalam terkait ketegangan dan jurang budaya diperparah dengan diskusi berlebihan dan pelarangan burka" ujar Hammerberg. "Alih-alih mendorong diskusi yang tidak konstruktif, pemerintah dan pemimpin politik seharusnya mengusung aksi lebih nyata untuk menghadang kebenciang dan diskriminasi terhadap minoritas."