REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON - Seorang pemimpin kelompok minoritas Uighur China di pengasingan, Senin (25/7), mengatakan bahwa ia mengkhawatirkan keselamatan puluhan orang yang ia katakan terluka dalam bentrokan terakhir dengan polisi di wilayah Xinjiang. Ia juga mencemaskan kemungkinan ditahan.
Rebiya Kadeer, Presiden Kongres Dunia Uighur--yang berbasis di Amerika Serikat, mengatakan bahwa sekitar 70 orang Uighur yang terluka dipindahkan dari kawasan sipil ke rumah sakit penjara militer setelah kekerasan pada 18 Juli terjadi di kota terpencil Hotan.
"Pemerintah mengumpulkan mereka semua dan membawa ke rumah sakit (penjara) militer. Ini jelas setiap kali warga Uighur yang terluka dibawa ke rumah sakit militer, ia tidak akan pernah dibebaskan dalam keadaan hidup," kata Kadeer kepada AFP dalam sebuah wawancara.
Kadeer mengatakan selama bertahun-tahun suku Uighur telah meningkatkan keluhan tentang penjara militer. Dia menuduh bahwa para tahanan pada masa lalu telah dibunuh -- mungkin untuk diambil organ tubuh mereka. Para aktivis hak asasi manusia juga telah lama menduga keberadaan praktek tersebut.
Media pemerintah China mengatakan bahwa 18 orang tewas di Hotan, sebuah oasis di Jalur Sutera kuno, dalam sebuah kekerasan di sekitar kantor polisi. Media pemerintah menyebutnya sebagai sebuah serangan "teroris"
Otoritas Cina menyatakan insiden yang melibatkan kerumunan orang di depan kantor polisi, menewaskan empat orang. Karena itu polisi kemudian "menembak" para penyerang.
Kadeer meragukan perhitungan itu dan mengatakan bahwa korban tewas mungkin lebih banyak. Seorang juru bicara untuk kelompoknya pekan lalu mengatakan kepada AFP bahwa 20 pengunjuk rasa telah dibunuh.
Dia mengatakan warga Uighur telah pergi ke kantor polisi dan berusaha untuk menemui petugas sebagai upaya untuk mendapatkan informasi tentang orang-orang terkasih yang hilang. Kadeer membela gerakan itu dan meyakini itu bukanlah aksi kekerasan.
"Tentu saja saya menentang kekerasan, tetapi dalam kasus ini para pengunjuk rasa adalah orang-orang yang diserang oleh polisi China dan mereka bereaksi untuk membela diri. Mereka memiliki hak untuk mengetahui keberadaan orang yang mereka cintai," katanya.
"Ini sangat berbeda dari di negara-negara Barat tempat polisi di sana untuk melindungi orang dari diserang. Di China, mereka menangkap orang-orang biasa sehingga mereka adalah penjahat, mereka hanya memakai seragam," katanya.
"Mereka menangkap orang-orang kapan pun mereka inginkan, mereka memukuli orang setiap kali mereka inginkan. "
Xinjiang--sebuah daerah yang luas, tandus namun kaya sumber daya berbatasan dengan kawasa Asia Tengah--adalah rumah bagi lebih dari delapan juta warga Uighur. Etnis tersebut berbicara bahasa Turki dan sebagian besar beragama Islam.
Banyak yang tidak senang dengan apa yang mereka katakan sebagai pemerintahan represif China dan imigrasi tidak diinginkan oleh mayoritas Han. Pemerintah mengatakan hampir 200 orang tewas dan 1.700 terluka dalam kerusuhan 2009 di ibu kota daerah itu, Urumqi, menurut saksi yang menceritakan mengenai serangan warga Uighur kepada kelompok Han China.