REPUBLIKA.CO.ID, KUWAIT CITY - Bagi sebagian besar tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri, khususnya TKI sektor informal, Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN) kini tak asing lagi di telinga mereka.
Pasal 26 ayat (2) butir (f) UU No.39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlinduangan TKI di Luar Nageri menyebutkan, "TKI yang ditempatkan wajib memiliki KTKLN", sedangkan pasal 62 ayat (1) menyebutkan, "Setiap TKI yang ditempatkan di luar negeri wajib memiliki dokumen KTKLN yang dikeluarkan oleh pemerintah.
KTKLN merupakan kartu identitas bagi tenaga kerja Indonesia sebagai dokumen pemberangkatan TKI yang telah memiliki persyaratan dan prosedur untuk bekerja ke luar negeri berbentuk smartcard berbasis chip microprocessor contactless dan dapat dikembangkan sebagai kartu multi fungsi.
Selain diterbitkan oleh Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan TKI (BP3TKI) dan Pos Pelayanan Penempatan dan Perlindungan TKI (P4TKI), KTKLN juga diterbitkan di Bandara Internasional Soekarno-Hatta Cengkareng dan Bandara Internasional Juanda Surabaya.
Tujuan dari pembuatan KTKLN tersebut nampaknya cukup baik, namun bagi sebagian TKI lainnya yang bekerja di sektor formal seperti tenaga profesional dan mandiri, KTKLN justru menjadi semacam momok yang dapat "menggagalkan" keberangkatan mereka untuk bekerja ke luar negeri.
Setidaknya hal itu pernah dialami Komaruddin, salah seorang tenaga profesional yang bekerja di Doha, Qatar, yang mengalami nasib tidak mengenakkan karena terpaksa harus menunda keberangkatannya kembali ke Doha, akibat tidak memiliki KTKLN.
Ia kemudian menceritakan pengalaman yang menimpanya pada 14 Juli 2011. Menurut dia, meski KTKLN telah resmi diberlakukan pada 2007 lalu, namun selama ini sepertinya belum diterapkan secara ketat.
"karena itu, pada Mei 2011 saya setelah cuti kembali ke Qatar dan tetap lolos tanpa ditanya apapun. Tetapi pada 14 Juli yang lalu, saya juga tidak melakukan apa-apa (tidak mengurus KTKLN), tetapi saya dicekal hingga tidak bisa berangkat hari itu karena tidak memiliki KTKLN," katanya.
Saat itu Komaruddin mengaku berupaya keras membuat KTKLN pada hari itu juga agar tetap bisa berangkat.
"Saya apresiasi bahwa pembuatan KTKLN memang cepat dan tidak sulit, 10 menit selesai. Tapi yang terjadi saya telat masuk Bandara sehingga tidak bisa terbang hari itu. Saya harus ganti penerbangan dan harus menginap di Bandara Soekarno-Hatta," ujarnya sambil menyebut jumlah uang kerugian yang harus dibayarnya karena tidak memiliki KTKLN.
Namun, lanjut dia, alangkah kecewanya dirinya ketika mendengar cerita beberapa rekannya yang "lolos" sampai ke Qatar tanpa memiliki KTKLN.
"Penerapan KTKLN tidak konsisten, infonya tidak komplit, waktu masuk bagian imigrasi di bandara, dari sejumlah loket imigrasi ternyata berbeda, ada yang lolos tanpa KTKLN dan ada yang tidak. Ini tidak konsisten," ujarnya.
Pengalaman Komaruddin yang tidak menyenangkan itu disampaikannya dalam acara Sosialisasi Mekanisme Penerbitan Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN) di Doha, Qatar, Selasa (26/7) malam waktu setempat atau Rabu dinihari waktu Indonesia, yang dihadiri Deputi Penempatan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Ade Adam Noch.
Apa yang diungkapkan Komaruddin dibenarkan oleh Olivia, WNI yang bekerja di salah satu agen TKI di Doha, yang secara blak-blakan mengaku bisa lolos ke Qatar meski tidak memiliki KTKLN.
"Saya `nggak perlu KTKLN. Kuncinya, hanya dengan selembar `mawar merah` yang saya selipkan di paspor, saat pemeriksaan," katanya yang disambut tawa puluhan TKI sektor formal yang hadir dalam acara sosialisasi itu.
Sejumlah pengalaman yang dialami TKI sektor formal seperti tenaga profesional dan mandiri itu membuat Persatuan Masyarakat Indonesia di Qatar (Permiqa) menyampaikan pernyataan resmi kepada pemerintah yang menolak penerapan KTKLN.
"Ini masukan tertulis dan terdokumentasi yang kami harap menjadi perhatian pemerintah," kata Ketua Permiqa Ade Sanjaya ketika menyampaikan surat pernyataan Permiqa tersebut.
Menurut Ade sebagaimana tertulis dalam pernyataan tersebut, ada sejumlah hal yang menjadi alasan penolakan Permiqa, --yang mewakili tenaga kerja profesional dan mandiri--, terhadap penerapan KTKLN di antaranya adalah adanya pengalaman terkait implementasi Rekomendasi Depnaker sekitar 2006 yang tujuan awalnya baik namun banyak terjadi pelanggaran di lapangan, hingga akhirnya dicabut.
Permiqa juga menilai bahwa pelaksanaan KTKLN telah mengakibatkan "kemudharatan" di lapangan, di antaranya praktik percaloan dan pembatalan keberangkatan bagi TKI yang tidak memiliki KTKLN, termasuk beberapa tenaga profesional.
Jika yang diinginkan pemerintah melalui KTKLN adalah data TKI yang bekerja di negara tertentu, Permiqa berpendapat, sesuai pasal 71 ayat (1) UU No.39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri yang menyebut "Setiap TKI wajib melaporkan kedatangannya kepada Perwakilan RI di negara tujuan", maka transfer data TKI dari KBRI ke BNP2TKI seharusnya bisa dilakukan secara efektif.
Pemerintah, menurut Permiqa, seharusnya mendorong pengiriman TKI profesional dan bukan menghambat mereka dengan birokrasi yang mempersulit.
Permiqa menyatakan, permasalahan serius terkait TKI di sektor informal yang bekerja sebagai Penata Laksana Rumah Tangga (PRLT) seharusnya menjadi fokus BNP2TKI dengan menempatkan petugas atau pejabat BNP2TKI/Kemanakertrans yang memahami kultur dan bahasa negara setempat serta menguasai advokasi tenaga kerja dan hukum internasional, guna memberikan perlindungan dan membantu TKI bermasalah itu.
KTKLN, menurut Permiqa, sebenarnya hanya diperuntukkan bagi TKI informal yang ditempatkan oleh PJTKI (Pengerah Jasa TKI) atau PPTKIS (Pelaksana Penempatan TKI Swasta), sedangkan tenaga profesional dan mandiri tidak termasuk dalam kelompok yang dimaksud dalam pasal 62 ayat (1) UU No.39 Tahun 2004, yakni "Setiap TKI yang ditempatkan di luar negeri, wajib memiliki dokumen KTKLN yang dikeluarkan pemerintah".
Karena itu, Permiqa meminta agar sistem dan kinerja seluruh PPTKIS harus dibenahi secara menyeluruh hingga sesuai standardisasi proses penempatan TKI termasuk rekrutmen tenaga kerja di Indonesia. Pengawasan lebih ketat dan selektif terhadap PPTKIS, menurut Permiqa, akan membantu masyarakat mengetahui PPTKIS yang memenuhi syarat atau tidak, karena kenyataannya banyak PJTKI yang tidak kompeten.
Catatan Penting
Deputi Penempatan BNP2TKI Ade Adam Noch mengatakan, penolakan terhadap penerapan KTKLN itu akan menjadi catatan penting pemerintah.
"Saya tidak bisa merespons atau menerima penolakan tersebut, karena UU masih berlaku kecuali kalau sudah direvisi karena pemerintah bekerja berdasarkan UU. Pemerintah bekerja berdasarkan UU sehingga tidak mungkin pemerintah melanggar UU dengan tidak memberlakukan KTKLN," tegasnya.
Namun Ade mengatakan, pemikiran Permiqa itu harus disampaikan ke DPR, sehingga revisi UU No.39 Tahun 2004 harus membedakan antara TKI informal dengan tenaga profesional dan mandiri.
Yang jelas, katanya, ke depan pemerintah khususnya BNP2TKI terus berkomitmen untuk memberikan pelayanan terbaik bagi para TKI yang bekerja di luar negeri.
"Tugas kami adalah membenahi pelayanan. Dalam hampir dua bulan terakhir ini, kami membuka pelayanan di Bandara Soekarno-Hatta Cengkareng dan Bandara Juanda Surabaya, untuk melayani pembuatan KTKLN. Kami akan memastikan agar para TKI yang berangkat tidak terhambat untuk kembali bekerja di luar negeri," ujar Ade Adam Noch.