REPUBLIKA.CO.ID, GAZA – Satu hari menjalankan ibadah puasa di Jalur Gaza, lamanya dan laparnya
seperti tiga hari berturut-turut tanpa makan dan tanpa minum. Demikian diungkapkan oleh Abdillah Onim, Ketua MER-C Cabang Gaza, yang telah dua kali berturut-turut menjalani ibadah puasa di kota kecil yang terblokade itu.
"Ramadhan kali ini bertepatan dengan musim panas yang berlangsung hingga tiga bulan lamanya. Di mana jika di siang hari cuacanya berkisar 40-45 derajat Celcius bahkan bisa lebih," ungkap Dillah.
Munculnya istilah satu hari menjalankan ibadah puasa di Jalur Gaza, lamanya dan laparnya seperti tiga hari berturut-turut tanpa makan dan tanpa minum, adalah perumpamaan yang berkembang di masyarakat Gaza. Hal ini disebabkan cuaca yang sangat panas dan gerah. Selain itu, waktu berpuasa di Jalur Gaza juga lebih lama, yaitu lebih dari 16 jam.
Menurut Dillah, memasuki bulan Ramadhan tahun ini, kondisi di Jalur Gaza tidak ada perubahan sama sekali dengan bulan Ramadhan tahun yang lalu. Jalur Gaza masih tetap dalam suasana diblokade oleh zionis Israel. Kondisi perekenomian pun dari tahun ke tahun tidak ada perubahan ke tingkat yang lebih baik.
Kebutuhan sehari-hari, khususnya bahan makanan masih sangat terbatas, jika ada maka harganya sangat mahal, bisa mencapai tiga kali lipat dari harga biasanya. "Entahlah kapan blokade ini akan berakhir, kapan penderitaan warga Gaza akan berakhir? Dan mungkinkah mereka masih bisa menata kehidupan yang serba tidak jelas ini menjadi lebih baik?" katanya getir.
Bulan Ramadhan kali ini, Dillah juga menemukan sebuah suasana tidak seperti biasanya. Satu hari menjelang datangnya bulan suci Ramadhan, yaitu sebelum shalat Isya dan shalat tarawih, ia menyempatkan diri berkeliling dan sengaja melewati jalan raya yang berada di tepian pantai.
Sore itu, suasana pantai begitu indah dan dihiasi oleh pemandangan terbenamnya matahari. Gulungan ombak dan gelombang pun terlihat berkejar-kejaran silih berganti dan nampak seperti bergembira menyongsong datangnya bulan penuh rahmat dan penuh berkah, yaitu bulan suci Ramadhan.
Tampak di sepanjang tepian pantai Jalur Gaza begitu ramai dan dipadati oleh rakyat Gaza segala usia, mulai dari anak-anak sampai dewasa, pria maupun wanita. "Kedatangan mereka ke pantai tidak lain hanya untuk mengekspresikan rasa syukur karena datangnya bulan suci Ramadhan. Kegiatan seperti ini hanya mereka lakukan pada saat menjelang datangnya bulan suci Ramadhan," tutur Dillah.
Berdasarkan informasi yang didapatkan Dillah dari istrinya yang asli Gaza, biasanya jumlah warga Jalur Gaza yang mengunjungi pantai pada setiap datangnya bulan suci Ramadhan berkisar 75.000-80.000 orang. "Mereka sengaja mendatangi pantai untuk menyambut bulan suci Ramadhan. Dan mereka tidak akan ke pantai lagi selama bulan suci Ramadhan nanti," ujarnya mengutip sang istri.
Sudah menjadi kebiasaan rakyat Gaza bahwa selama bulan suci Ramadhan, mereka lebih memilih menghabiskan waktu di masjid, mendengarkan ceramah, membaca ayat suci Alquran atau kegiatan lain yang lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT (taqarrub ilallah) dan intropeksi diri (muhasabah al-anfus).
Abdillah Onim dan segenap relawan MER-C yang bertugas di Gaza serta rakyat Gaza memohon doa dari kaum Muslimin di Indonesia, semoga di bulan suci ini mereka dapat menjalani ibadah puasa dengan khusyuk, aman dan tenteram seperti di Indonesia.
Seperti diketahui bersama, kata Dillah, kaum zionis Israel tidak akan membiarkan masyarakat Gaza dalam kedamaian saat menjalankan ibadah di bulan Ramadhan. "Semoga tidak ada bom pada saat malam takbiran. Semoga saja Ramadhan kali ini Jalur Gaza lebih aman dari Ramadhan tahun yang lalu," harap lelaki kelahiran Galela, Maluku Utara ini.