Oleh: DR Abdul Basith Jamal & DR Daliya Shadiq Jamal
Pada masa lalu, tabir yang menyelimuti misteri jiwa manusia, masih sulit untuk disingkap, hingga para ilmuwan dibuat bingung karenanya. Mereka mendapatkan kesulitan untuk mengetahui hakikat dari jiwa manusia, fungsi dan mekanisme kerjanya dalam merespon dan memberikan reaksi atas berbagai masalah yang datang dari luar dirinya.
Namun dengan kemajuan ilmu pengetahuan, khususnya di bidang ilmu kejiwaan, para ilmuwan sedikit demi sedikit dapat mengetahui rahasia di balik misteri itu. Pada awalnya, ilmu kejiwaan menitikberatkan pada pembahasan tentang fungsi jiwa dalam memahami hubungan antara berbagai perasaan yang dialami manusia dan respon terhadap perasaan-perasaan itu dengan pengaruh yang datang dari luar dirinya.
Dalam upaya untuk mengenal lebih lanjut tentang jiwa manusia ini, para ahli jiwa dihadapkan pada berbagai pertanyaan, diantaranya: Apakah tanpa perasaan (syu‘ur) yang dimilikinya, indera manusia bisa merespon semua pengaruh yang datang dari luar dirinya (ihsaas)? Apakah perasaan dan alat indera itu saling berkaitan dan saling melakukan intervensi? Dalam memberikan reaksi atas pengaruh yang datang dari luar dirinya, apakah jiwa yang berperan atau sistem syaraf?
Dengan kemajuan yang dicapai dalam bidang ilmu kejiwaan ini, misteri tentang jiwa manusia ini sedikit terkuak. Berdasarkan penelitian, disimpulkan bahwa bagian tubuh yang mengontrol perasaan manusia dan kehendak untuk merespon pengaruh eksternal dan internal yang menimpa diri manusia, adalah jiwa yang dimilikinya.
Hal itu terjadi berdasarkan instuisi (pengetahuan) yang terdapat di dalam dasar jiwanya. Dengan adanya pengetahuan ini, jiwa mempunyai kemampuan untuk mengambil keputusan terhadap segala hal yang menimpa dirinya.
Namun kemampuan untuk mengambil keputusan ini, antara satu individu dengan individu yang lainnya berbeda, tergantung kepada pengetahuan yang terdapat di dasar jiwa masing-masing dan kecepatan dirinya dalam mensintesiskan pengetahuan itu dengan pengaruh yang datang kepadanya. Termasuk juga kekuatan sistem syaraf yang dimilikinya.
Berdasarkan hal di atas, kita dapat memahami hubungan antara jiwa dan sistem syarat serta fungsi dari berbagai indera yang dimiliki manusia, sebagai hubungan perpaduan yang menakjubkan. Di mana sel-sel syaraf berfungsi untuk mengantarkan pengaruh yang datang dari luar, untuk dikelola dan dipahami oleh otak dengan bantuan pengetahuan yang dimiliki jiwa, sehingga respon yang muncul dalam menyikapi pengaruh yang datang dari luar tersebut sesuai dengan yang diharapkan dan dapat dilaksanakan oleh alat inderanya.
Hal ini sesuai dengan yang digambarkan oleh Alquran sejak 14 abad yang lalu, di dalam ayat yang berkaitan dengan jiwa manusia. Allah SWT dalam surah Asy-Syams ayat 7 dan 8 berfirman: "Dan jiwa serta penyempurnaannya (penciptaannya). Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya."
Ayat di atas memberikan isyarat, bahwa jiwa manusia memiliki kemampuan untuk menyeleksi berbagai kemungkinan dari keputusan yang akan diambilnya, baik itu bersifat baik atau jahat. Hal itu didasarkan atas ilham yang diberikan Allah SWT kepadanya dalam bentuk pengetahuan (intuisi) yang memungkinkan dirinya menghadapi berbagai masalah yang dihadapinya.
Dalam ayat di atas juga, Allah SWT menjelaskan bahwa jiwa manusia telah disempurnakan-Nya. Dan kesempurnaan yang dimaksud dalam ayat ini, adalah kebebasan mutlak yang dimiliki jiwa untuk memilih apa yang dikehendakinya, di mana ia tidak dapat dipaksa untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan keinginannya.
Dalam ayat 53 dari surah Yusuf, Allah SWT berfirman: "Karena sesungguhnya jiwa itu selalu menyuruh kepada kejahatan."
Ayat di atas secara gamblang menyebutkan bahwa jiwa mempunyai kebebasan untuk memilih, yaitu terbukti dengan seruannya untuk melakukan kejahatan. Dan ini adalah sebagian dari sifat-sifat dasar yang dimiliki oleh jiwa. Di bagian lain dari Alquran yang terdapat pada surah Al-Qiyamah ayat 2, Allah SWT berfirman tentang sifat lain yang dimiliki jiwa: "Dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri)."
Penyesalan yang diderita jiwa, merupakan salah satu bentuk dari kebebasan yang dimilikinya untuk memilih dan menyeleksi berbagai kemungkinan yang dapat diambilnya. Bahkan dalam ayat lain yang terdapat dalam Al-Quran, dijelaskan bahwa jiwa bisa menjadi pendorong dari pembunuhan yang dilakukan manusia. Allah SWT berfirman tentang kisah dua orang anak Nabi Adam: "Maka jiwa Qabil menjadikannya menganggap mudah membunuh saudaranya."
Berdasarkan ayat ini, jiwa manusia bisa memiliki keinginan untuk melakukan pembunuhan. Bahkan dalam kasus Qabil, jiwanya yang mengomandoi seluruh anggota tubuhnya untuk melaksanakan pembunuhan saudaranya. Dari situ, kita juga dapat menyimpulkan bahwa jiwa memiliki kebebasan dalam mengarahkan seluruh anggota tubuh untuk mengambil sikap tertentu sebagai respon dan reaksi atas pengaruh yang datang dari luar dirinya melalui berbagai alat indera yang dimilikinya.
Hal yang sama kita dapatkan juga dalam kisah Nabi Ya’kub yang mencela anak-anaknya, ketika mereka sekonyong-konyong datang pada suatu malam dan memberitahukannya bahwa serigala telah memakan Yusuf, anaknya.
Mendengar itu, Nabi Ya’kub yang mengetahui bahwa anak-anaknya berbohong, berkata kepada mereka sebagaimana dalam firman Allah SWT dalam surah Yusuf ayat 18: "Sebenarnya jiwamu sendirilah yang memandang baik perbuatan (yang buruk) itu, maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku). Dan Allah sajalah yang dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan."
Dan dalam ayat 185 dari surah Ali Imran, Allah SWT berfirman tentang apa yang akan menimpa jiwa manusia: "Tiap-tiap (yang ber)jiwa akan merasakan mati."
Berdasarkan semua hal di atas, jelaslah bagi kita, bahwa jiwa memiliki hubungan dengan panca indera. Hal mana tidak diketahui oleh ilmu pengetahuan modern, kecuali beberapa dekade yang lalu.