REPUBLIKA.CO.ID, KASHGAR, CINA – Menjadi korban di tanah kelahiran sendiri, Muslim Uighur Cina dipaksa pergi dari rumah di bawah kebijakan pemerintah. Kota tua dengan usia satu abad menyimbolkan identitas Uighur itu akan dimodernkan oleh pusat.
"Setiap kali saya berpikir tentang rumah saya, saya begitu marah hingga sulit duduk," ujar seorang pedagang Uighur, Obul Kasim, Rabu (9/8).
Kasim adalah satu dari ratusan Muslim Uighur yang kehilangan rumah mereka di kota oasis, Kashgar, jauh di bagian barat Xinjiang. Pemerintah telah meluncurkan rencana untuk memindahkan 50 ribu orang dari Kashgar, kota yang dihuni 220 ribu orang, dan mengganti permukiman yang ditinggalkan dengan bangunan apartemen.
Menurut pejabat, beberapa rumah-rumah di Kashga terlalu jauh dari pompa hidran kebakaran dan kota tua itu sudah mulai telalu penuh sesak sehingga dianggap membahayakan.
Ketika pertama kali menolak meninggalkan rumah berusia 100 tahun terbuat dari batu bata lumpur pada 2004 lalu, Kasim diborgol oleh polisi dan ditahan di kantor polisi terdekat.
Pada tahun 2005 dan 2007 ia bepergian ke Beijing untuk menuntut ganti rugi kompensansi yang ia anggap tidak layak. Namun dua kali pula ia dikecewakan pejabat.
Pemerintah lokal menawarkan kompensasi sebesar 470 yuan (Rp700 ribuan) per meter persegi untuk rumahnya seluas 510 meter persegi. Kini bangunan apartemen itu memiliki nilai 30 ribu yuang (Rp40 jutaan) per meter persegi.
"Tak ada departemen yang mendengarkan saya," ujar Kasim yang menjual tutup kepala berbordir di dekat masjid terbesar di Kashgar sekaligus di Cina, Id Kah. "Ayah saya begitu marah dengan ini, ia meninggal karena serangan jantung."
Kasim berkata ia akan kembali ke Beijing untuk mengajukan petisi setelah Ramadhan berakhir. Meski, ia mengaku tak berharap banyak dengan upayanya.
Kisah Kasim dialami pula oleh Muslim Uighur lain, seperti Gopuk Haji,97 tahun, seorang pakar pengobatan tradisional. Ia diberi ganti rumah seluas 80 meter persegi, meski rumah lamanya yang juga terbuat batu bata lumpur memiliki luas 100 meter persegi.
"Partai Komunis sesungguhnya harus membantu rakyat," ujar Haji yang hanya diberi kompensasi sebesar 96 ribu yuan (Rp13 jutaan). "Tapi Partai Komunis ini palsu. Mereka hanya menggunakan uang untuk membatasi pengeluaran dari kantong mereka.
Terlepas dari protes Uighur, penghancuran dilakukan di tanah datar dan kering di wilayah Kashgar, yang dulu menjadi tempat pemberhentian rute historis jalur perdaganan Jalan Sutra yang menghubungkan Cina dan Eropa.
Rumah-rumah bersejarah Uighur yang berciri khas struktur tanah, lumpur dan bata tanpa pembakaran, dengan pintu kayu berwarna merah kusam, dulu diapresiasi sebagai salah satu contoh arsitektur Asia Tengah yang bertahan. Pengamat meyakini penghancuran itu dilakukan untuk menghilangkan secara bertahap identitas Uighurs, minoritas Muslim berbahasa Turki di Cina.
"Salah satu pelajaran yang bisa kita ambil dari warga Xinjiang adalah, upaya mengejar pertumbuhan ekonomi sebagai solusi masalah sosial tidak berhasil," ujar periset dari Human Right Watch berbasis di New York, Nicholas Bequelin.
Penghancuran massal di kota tua Kashgar, ujarnya, bisa dianggap sebagai bukti nyata keinginan pemerintah untuk menghapus identitas dan warisan Uighur.
Kebijakan Salah
Pakar meyakini bahwa akar ketegangan di Xinjiang dipicu oleh kebijakan pemerintah yang memasukkan lebih banyak Han, etnis mayoritas di Cina, ke wilayah Muslim tersebut. "Tentu saja warga Uighur sangat marah dengan kebijakan itu," ujar pakar Uighur, Dru Gladney, dari Pomona College, California.
"Cina berpikir mereka dapat menguasai kawasan itu dengan menghadirkan Han dan mengucurkan uang kepada petugas keamanan dan polisi, dan berharap masalah dapat mudah diperbaiki.
Pengamat juga mengingatkan bahwa pengambilalihan paksa rumah-rumah Uighur hanya akan memperburuk ketegangan yang sudah ada.
"Sumber utama kemarahan dan ketidakpuasan rakyat adalah pengambilan lahan," ujar siswa pascasarjana di Australian National University, Tom Cliff, yang pernah tinggal di Xinjiang lebih dari tiga tahun. "Banyak warga Uighur menanggap tanah mereka diambil, diberi kompensasi tidak layak dan tak ada perlindungan dari hukum,"
Xinjiang pernah menjadi lokasi kekerasan berdarah pada Juli 2009 silam. Pemerintah menuding insiden itu adalah tanggung jawab kaum separatis East Turkestan Islamic Movement (ETIM), namun Uighur meragukan kliam tersebut.
"ETIM tidak memiliki pengaruh besar di Uighurs," ujar imam berusia 40 tahun yang menolak disebut namanya. "Sebagian orang memang pernah mendengar gerakan separatis ini, namun sebagian besar juga tak tahu siapa mereka apalagi melihat wajah mereka."
Memandang poster dua warga Uighur yang ditembak polisi pekan lalu karena dicurigai terlibat dalam serangan di Kashgar, Kasim, si pedagang Uighur berkata, "Mereka bukan teroris. Mereka hanya orang yang memiliki masalah dalam hidupnya. Jika mereka buntu tak bisa menemukan solusi, mungkin mereka tak punya pilihan lain."
"Saat ditanya apakah Xinjiang seharusnya merdeka," ia berkata, "Saya takut memberi anda jawaban. Dinding punya telinga. "Namun jika anda cukup cerdas, anda akan tahu pasti jawaban saya."