REPUBLIKA.CO.ID, BERLIN — Serupa tapi tak sama. Begitulah keluh kesah komunitas Muslim Jerman dalam melaksanakan kewajiban mereka menjalankan ibadah puasa di bulan suci Ramadhan. Mereka mengakui kebebasan beragama di Jerman telah mendapat jaminan konstitusi, namun tidak mudah untuk merayakan Ramadhan di Jerman selayaknya saudara-saudara mereka di dunia Islam.
Abdul Muhsin Nehru, warga yang menetap di Nuremberg selama 25 tahun, percaya bahwa aktivitas harian di Jerman tidak mendukung seorang Muslim untuk berpuasa. Menurutnya, segala sesuatu terlihat lebih sulit. “Di Jerman, hari kerja tidak berubah, sementara di dunia Arab sepengatahuan saya lebih singkat demi mengakomodasi jadwal Ramadhan,” kata dia seperti dikutip dari Deusche Presse Agentur, Jumat (12/8).
Nehru mengungkap rata-rata jam kerja di Jerman dimulai dari pukul 07.00 pagi. Sementara ia, harus bangun pukul 04.00 pagi untuk menyantap sahur. Ia tak mungkin tidur, lantaran shalat subuh dan tadarus Alquran. Saat bekerja, ia merasakan kantuk yang luar biasa. Yang jadi persoalan, ia tidak sempat berbuka bersama keluarganya.
Ahmad Haitham, 33 tahun, seorang warga Palestina yang menikah dengan seorang wanita Jerman, merindukan hidangan tradisional dan suasana Ramadhandi Tanah Airnya. Di luar itu, tantangan yang terberat menurut Ahmad, ia harus menjaga emosi dan hawa nafsu ketika lingkungan di sekitarnya tidak kondusif bagi setiap Muslim untuk berpuasa.
“Ramadhan di Berlin begitu berbeda, Meskipun saya dan istri berpuasa, kami kesulitan untuk mempersiapkan makanan," katanya.
Tahra, nenek 66 tahun, keturunan Pakistan, merindukan suasana Ramadhan di tanah leluhurnya. “Aku bisa mendengar panggilan adzan, dan menyegerakan menuju masjid,” kata dia.
Tahra, yang tinggal di Dusseldorf, mengaku bahagia saat anak dan cucunya datang menyiapkan masakan tradisional Pakistan seperti baklava, kue manis yang terbuat dari sirup atau madu dan diisi dengan kacang cincang.
"Ramadhan adalah waktu untuk kebersamaan dengan keluarga dan teman. Kita selalu terpisah selama 11 bulan sebelumnya, " kata Ibrahim, 44 tahun pemilik warnet, yang merupakan warga Jerman keturunan Turki.Ibrahim mengakui ia menghadapi kesulitan di awal-awal puasa, tetapi kesulitan itu hilang seiring waktu.
Berbeda dengan Ezat Ugan, yang begitu menikmati Ramadhan di Berlin, karena ia bertemu dengan saudara-saudaranya yang Muslim dari berbagai belahan dunia. Hal ini juga memungkinkan dia untuk mengetahui lebih lanjut tentang hidangan internasional, seperti Aljazair, Maroko dan bahkan makanan Afghanistan.
Dan Payam Marouf, 26 tahun, warga Irak yang tinggal di Nuremberg, bersyukur akan menghabiskan tahun ini Ramadhan di Jerman, karena saat tiba cuaca lebih bersahabat untuk menjalankan puasa ketimbang tanah leluhurnya, dimana suhu dengan mudah mencapai 50 derajat Celcius saat ini tahun.
Jerman, saat ini memiliki lebih dari 40 masjid. Selama Ramadhan, seluruh masjid penuh disesaki para jamaah yang meniatkan diri untuk berbuka bersama, bertarawih dan tadarusan. Seperti saudara-saudara mereka di seluruh dunia, 4 juta Muslim di Jerman berharap untuk melaksanakan kewajiban mereka di bulan suci Ramadhan dengan penuh khidmat.
Lebih dari setengah Muslim yang tinggal di Jerman berasal dari Turki. Sisanya berasal dari negara-negara Arab atau Afrika, tetapi ada juga beberapa ribu Jerman yang telah masuk Islam. Meski kebebasan beragama dijamin konstitusi Jerman, namun, banyak Muslim merasa merayakan Ramadhan di Jerman tidak serupa seperti di dunia Islam.