REPUBLIKA.CO.ID,CARACAS--Presiden Venezuela Hugo Chavez menyatakan, Selasa, bahwa ia akan terus mengakui hanya Muamar Gaddafi sebagai pemimpin sah Libya, meski ada pertanda rezimnya mungkin sedang dalam perjuangan mati-matian terakhirnya. Di Libya, kata Chavez, hanya ada satu pemerintah, pemerintah itu dipimpin oleh Muamar qaddafi," kata pemimpin Venezuela itu, dan menyatakan kembali kecaman sebelumnya terhadap pembombardiran NATO yang telah menyumbang pada keruntuhan rezim pemimpin Libya itu.
"Kami tegaskan solidaritas kami pada rakyat Libya yang telah diserang dan dibombardir," katanya, dalam sebuah pernyataan yang dibuat pada satu pertemuan kabinet yang disiarkan oleh televisi dan radio. Ucapannya itu menggemakan pernyataan Chavez, Senin, ketika ia mengecam aksi militer Barat terhadap Qaddafi itu sebagai "pembunuhan besar-besaran".
Chavez menuduh negara-negara besar Barat telah dimotivasi oleh "sinisme" dan ketamakan untuk merebut cadangan minyak negara Afrika utara itu, teman anggota Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) yang memiliki 12 anggota. "Itu alasan untuk menyerang dan mengambil-alih sebuah negara dan kekayaannya."
Pekan lalu Chavez bergabung dengan rekannya musuh AS, Mahmoud Ahmadinejad dari Iran, dalam mengecam "agresi imperialis" Barat terhadap Libya. Pemimpin Venezuela itu, pendukung utama Qaddafi di Amerika Latin, secara konsisten telah mengecam operasi militer beberapa bulan lamanya di Libya sebagai penyerobotan minyak oleh negara-negar besar Barat.
Ekuador, sekutu Venezuela, mengambil jalan yang sama Selasa, mengecam apa yang negara itu katakan sebagai invasi NATO terhadap Libya. Apa yang banyak negara katakan telah pasti: kami sedang membicarakan mengenai serangan dan kerugian jelas pada hak untuk memutuskan nasib sendiri dari rakyat Libya," kata Menlu Ekuador Ricardo Patino kepada surat kabar "online" pemerintah.
"Sekarang mereka akan mengambil kendali minyak, seperti telah dapat diduga, sebagaimana mereka lakukan di Irak; mereka menyerang Irak, mengambl minyaknya, ratusan ribu orang tewas dan tentu saja, sejak itu mereka adalah negara-negara yang paling berkuasa di dunia, tak seorang pun mengajukan mereka ke pengadilan," kata diplomat penting Quito itu.