Sulit untuk dibayangkan bahwa pada akhirnya saya mampu melalui lima belas hari pertama bulan Ramadhan tahun ini. Tentu saja saya telah melakukannya berkali-kali sepanjang hampir 30 tahun, tetapi bagi saya masalahnya jadi berbeda ketika ritual suci ini mesti saya lalui jauh dari tanah air; di tempat yang tidak terdengar panggilan azan, beduk tanda berbuka puasa, kentongan sahur, ataupun di tempat yang tidak memiliki pasar Ramadhan.
Lebih dari itu, yang sebenarnya paling berat adalah periode menahan yang jauh lebih lama, hampir 17 jam semenjak waktu imsak kurang lebih menjelang pukul lima pagi! Hal tersebut dikarenakan bulan Ramadhan tahun ini jatuh bertepatan dengan musim panas yang dimulai dari akhir bulan juni hingga akhir bulan agustus setiap tahunnya. Oh ya, saya belum mengatakan bahwa semua kondisi yang saya sebutkan ini terjadi di Paris. Kota yang katanya merupakan kota paling “chico” se-dunia ini bagi saya ternyata memberikan nuansa tersendiri dalam menjalankan ritual ramadhan.
Sebelum memasuki bulan puasa, saya telah sibuk memikirkan metode yang paling ampuh untuk menyiasati berbagai kondisi yang tidak biasa ini. Dari menghabiskan waktu dengan berjalan-jalan mengunjungi berbagai objek turistik di kota ini hingga ide untuk tertidur pulas sepanjang hari hingga waktu untuk berbuka puasa tiba. Tentu saja itu hanya tinggal rencana, karena pada akhirnya saya harus memikirkan menu berbuka puasa dan melakukan aktivitas harian lainnya selayaknya seorang ibu rumah tangga.
Lidah Melayu di Prancis
Memikirkan apa yang akan dimasak hari ini saja bagi saya bukan perkara gampang. Penyebabnya adalah keterbatasan bahan-bahan yang diminta oleh resep-resep yang ingin saya coba. Beberapa kali mungkin menyenangkan untuk makan di luar, selain lebih praktis. Namun lidah melayu menuntut saya untuk selalu mencicipi masakan Indonesia, terutama masakan Padang. Kita sama-sama tahu bahwa masakan Padang memiliki daftar bumbu yang cukup panjang, dan di Paris tidak ada warung di ujung jalan untuk membeli bumbu-bumbu tersebut seperti di Jakarta atau kota-kota lainnya di Indonesia.
Dari semua hal yang tercantum dalam daftar belanja saya, hal yang paling gampang ditemukan adalah daging! Bisa dibilang toko daging (bouchérie), toko roti Prancis (boulangérie), dan kios rokok (tabac) adalah tiga tempat yang paling mudah ditemukan di Paris (dan juga di kota-kota lainnya di Prancis) setelah toko pakaian, tempat makan, farmasi, dan pusat kecantikan. Bisa dibilang, hampir di setiap belokan jalan terdapat paling tidak sebuah toko roti. Hal ini sesuai dengan pemandangan yang paling umum dan telah menjadi stereotype orang Prancis, yakni berjalan dengan mengepit “baguette”, sebutan bagi roti Prancis yang panjang itu. Saya sendiri kurang menyukai jenis roti ini karena saya anggap terlalu keras untuk gigi dan pencernaan saya.
Sementara bouchérie mereka juga tidak bisa dibilang sama dengan di Indonesia. Pertama-tama, di tanah air daging tidak dijual di toko yang berada di pinggir jalan raya, melainkan di dalam pasar atau minimal, supermarket. Kedua, selain harga lebih mahal, beberapa bagian ternak yang biasa kita masak di tanah air seperti jeroan, lemak, urat, buntut, kulit dan tulang tidak dijual karena dianggap tidak baik bagi metabolisme mereka. Ketiga, tempat berjualan daging di sini tidak dikerubuti lalat, terutama yang berwarna hijau itu. Di atas semua itu eksistensi bouchérie mungkin bisa dijadikan indikator bahwa mereka sangat suka daging; selain kenyataan bahwa orang Prancis berbelanja daging seperti kita membeli ayam.
Biasanya ibu saya hanya membeli dua kilo sekali masak untuk makan satu keluarga yang beranggotakan enam hingga tujuh orang. Itupun tidak setiap hari. Hal ini jika disesuaikan dengan kebiasaan orang Prancis, dua kilo daging minimal hanya cukup untuk satu kali makan saja bagi satu keluarga dengan jumlah anggota yang sama atau lebih sedikit. Steak dan entrecote seukuran paling tidak 150 hingga 200 gram yang hanya dibumbui garam dan lada merupakan menu favorit dan utama bagi orang Prancis umumnya, yang tentu saja dimakan tanpa nasi, melainkan sedikit sayuran rebus atau kentang goreng, yang di sini disebut des frites.
Hal tersebut sepertinya tidak bisa diterima oleh lidah Melayu saya yang terbiasa dengan rempah-rempah. Bagi saya pedas dan asin harus ada di setiap masakan (untungnya suami saya yang berkebangsaan Prancis, tidak protes dengan hal ini). Oleh karena itu saya banyak menghabiskan waktu dengan mencari bumbu atau bahan-bahan yang saya inginkan di berbagai tempat. Berita baiknya adalah bahwa ternyata hal tersebut tidak sulit ditemukan, yang perlu dilakukan adalah menemukan toko yang tepat. Dan seperti kata saudara ipar saya yang memang orang Prancis : “Kamu hanya perlu pergi ke toko orang Cina, mereka memiliki semua yang kamu cari “.
Toko Tionghoa jadi tempat favorit
Masalah bumbu dan masakan pun terpecahkan. Segera, toko-toko orang Tionghoa menjadi salah satu tempat favorit saya di Paris. Keberadaan toko-toko tersebut sebenarnya cukup merata di berbagai arrondissements atau distrik-distrik di Paris, meski lebih mudah di beberapa departemen seperti 18éme, 10éme, dan terutama 13éme yang merupaka chinatown-nya Paris. Saat saya berkunjung ke distrik 13éme, saya merasa seperti berada di glodok atau mangga dua dengan begitu banyaknya orang Tionghoa dan pertokoannya yang saya lihat di sana. Bahkan mengalahkan jumlah orang Prancis yang terlihat oleh saya hanya segelintir saja.
Tetapi memang katanya Parisien yakni sebutan untuk warga kota Paris, sengaja menghindar dari quartier populaire atau lingkungan yang banyak dihuni imigran, baik dari Asia, Afrika dan negara-negarah Maghribi (Afrika Utara seperti Maroko, Tunisia, Aljazair, Mauritania, dst) seperti beberapa quartier di distrik 18émé, 19éme dan 20éme. Mungkin karena distrik-distrik ini sangat hiruk pikuk dan tidak teratur seperti distrik-distrik lain, selain angka kejahatan rata-rata yang lebih tinggi ketimbang quartier lainnya.
Sisi Paris yang berbeda
Ketika memasuki distrik-distrik ini kita sesperti memasuki sisi Paris yang berbeda. Hiruk pikuk orang berbicara dalam bahasa nasional mereka masing-masing atau berbahasa Prancis dengan aksen tertentu dalam intonasi yang tinggi atau bersuara keras, lalu lintas yang kacau balau, pejalan kaki yang seenaknya melintas, orang-orang lalu lalang dalam aneka pakaian daerah yang khas, bangunan-bangunan tua tidak terawat, lingkungan yang kotor, dan berbau tidak enak. Bahkan ketika melewati satu ruas jalan di 18éme, saya sempat teringat pada daerah sekitaran pasar senen di Jakarta!
Namun justru di tempat-tempat inilah kita bisa menemukan barang-barang yang akrab dengan budaya kita, paling tidak dari segi bahan-bahan pangan seperti bumbu masakan, daging yang berlogo halal, pernak-pernik rumah tangga dan barang-barang pecah belah dengan harga terjangkau.
Logo halal kelihatannya sangat penting bagi warga imigran maghribi dan afrika yang beragama islam. Beberapa kenalan saya yang berasal dari maghribi bahkan menolak untuk makan di restoran-restoran Prancis atau sekedar kedai sandwich karena mereka anggap menggunakan daging yang tidak halal.
Secara pribadi saya juga sempat memikirkan hal tersebut, meski demikian saya masih penasaran dengan kebenarannya. Siapa yang bisa menjamin halal atau tidaknya daging bila lembaga yang melakukan sertifikasi ini di Paris atau Prancis umumnya, bukan lembaga yang resmi seperti di Indonesia, melainkan lembaga atau institut religius yang kebanyakan tidak kita ketahui status dan keberadaannya. Oleh karena itu saya tidak terlalu terobsesi hingga menolak makan dan minum di restoran Prancis atau membeli daging di supermarket bila tidak sempat ke bouchérie (halal tentunya!).
Hidangan wajib berbuka puasa
Sebagai alternatif kolak, es cincau, pecel dan gorengan, saya lebih cenderung memilih korma yang di sini dinikmati dengan mentega Prancis dan susu fermentasi. Ini bisa dibilang hidangan wajib saat berbuka puasa pada keluarga-keluarga imigran maghribi di sini. Selain itu mereka juga menghidangkan buah zaitun yang diasinkan, sop kental ala maroko yang disantap dengan roti, sejenis risoles yang berisi daging, dan berbagai kudapan manis sebagai pembuka. Untuk hidangan utamanya tidak jauh-jauh dari daging.
Tidak berbeda dengan orang Prancis, bangsa Maghribi pun menyukai berbagai masakan dengan daging seperti couscous, tajine, sosis bakar, kebab, dan sate. Menurut cerita mereka para pria Arab sangat suka makan. Pada saat buka puasa sudah mesti terhidang berbagai hidangan pembuka sekaligus hidangan utamanya. Rasa lapar justru membuat mereka makin pemberang sehingga para wanita menyuruh suami mereka untuk berbelanja kudapan menjelang berbuka puasa untuk meredakan rasa lapar dan amarah tersebut. Saya pikir tidak hanya para pria arab yang pemberang ketika lapar.
Hidangan, meski krusial, namun hanya sebagian kecil dari aspek dalam ritual Ramadhan yang menjadi cobaan tersendiri bagi saya, yang terpenting tentu saja ritual ibadahnya.
Trisellia Rinelty
Paris, 75017
_______________________
Kirimkan kisah berpuasa di mancanegara ke [email protected]