REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Faktor agama diyakini bukan menjadi pemicu terjadinya kerusuhan di Ambon, Maluku, akhir pekan lalu, yang menyebabkan tiga orang tewas. Pengamat resolusi konflik dari IAIN Syarif Hidayatulah, Teguh, menganggap isu kesejahteraan tetap menjadi penyebab utama yang membuat warga di wilayah manapun di Indonesia mudah tersulut konflik.
Menurut Teguh, penyebab konflik tidak bisa berdiri sendiri, sehingga penanggung jawab terjadinya konflik tidak bisa hanya diserahkan ke lembaga sektoral seperti kepolisian dan intelejen. "Penyedia lapangan pekerjaan pun, maka Menteri Tenaga Kerja pun harus ikut tanggung jawab," ujar Teguh dalam dialog kenegaraan "Menjaga NKRI, Mencegah Perpecahan Daerah, Jangan Ulang Tragedi Ambon" di Gedung DPD RI, Rabu (14/9).
Mengenai potensi konflik, Teguh berteori bahwa hal tersebut tidak bisa dihilangkan karena konflik bersifat struktural. Artinya konflik tidak bisa dihilangkan maupun dibentuk, tetapi dialihkan ke bentuk konflik yang lain.
Kedamaian yang berlangsung bertahun-tahun, diingatkan Teguh, tidak berarti membuat potensi konflik benar-benar hilang. Yang terpenting adalah bagaimana struktur sosial budaya yang dibangun bisa bertahan lama sehingga konflik tidak muncul dalam bentuk baru. "Kalau strukturnya tidak bisa menjadi jawaban, pecahlah konflik ini."
Isu pluralisme yang menjadi potensi konflik juga dilihat Teguh tidak bisa terus-menerus dihembuskan. Sejak lama, Teguh memperlihatkan, bagaimana dalam setiap generasi keluarga akan bersaling-silang dengan menikah dengan pasangan yang berasal dari suku dan agama yang berbeda. Artinya, masyarakat terbiasa dengan perbedaan dan tidak pernah mempermasalahkannya.
"Indonesia akan selalu beragam. Ini persoalan kesejahteraan, dan kesejahteraan menjadi tanggung jawab pemerintah," tegas Teguh.