REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Penempatan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) di bawah langsung
Presiden dinilai inkonstitusional. Karena itu, tiga orang advokat, yaitu Andi Asrun, Dorel Almir, dan Merlina mengajukan uji materi Pasal 8 dan 11 Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri ke Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (14/9).
Pasal yang digugat pemohon, menjelaskan Polri berada di bawah Presiden, dan pengangkatan dan pemberhentian Kapolri oleh Presiden. Menurut Asrun, posisi Polri di bawah Presiden rentan menimbulkan intervensi kekuasaan dan tidak independen.
Karena itu, ia menilai aturan tersebut bertentangan dengan UUD 1945, sebab tidak ada pasal dalam UUD 1945 yang memberikan dasar hukum bahwa Polri harus berada di bawah naungan Presiden RI. Meskipun demikian, Andi mengakui dalam konstitusi Pasal 30 Ayat (5), dijelaskan, pengaturan kedudukan Polri dan TNI diatur lebih lanjut dengan UU.
Padahal dalam perjalanan sejarah bangsa, Polri tidak pernah diakui oleh konstitusi untuk berada di bawah Presiden secara langsung. "Keberadaan institusi polisi di bawah Presiden itu inkonstitusional, sebab rujukan historisnya tidak ada," jelas Asrun.
Historis yang dimaksudnya adalah zaman Hindia Belanda, pendudukan Jepang, Revolusi Fisik, Pascaproklamasi, Republik Indonesia Serikat (RIS), Demokrasi Parlementer, Demokrasi Terpimpin, Orde Baru, dan Reformasi.
Asrun menilai lebih tepat Polri berada di bawah naungan Kementerian Pertahanan (Kemenhan). Hal itu karena melihat Polri mirip dengan pola kerja Kemenhan.
Dijelaskannya, UUD 1945 menyatakan, keberadaan Polri termuat dalam Pasal 30 ayat 4, berbunyi, Polri sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakan hukum.
"Tidak ada satupun kata yang menjelaskan polisi di bawah langsung Presiden," papar Asrun.
Untuk memperkuat argumennya bahwa Polri mudah diintervensi Presiden, Asrun merujuk kasus yang menimpa klienya, mantan panitera pengganti MK Zainal Arifin Hoesein, tersangka dalam kasus surat Palsu MK. Ia menilai penetapan kliennya sebagai tersangka sangat janggal dan bertentangan dengan akal sehat.
Sayangnya, penyidik tetap bersikukuh melanjutkan proses hukumnya, dan membiarkan aktor utama pembuat surat palsu MK bebas. "Klien saya korban dari kasus inkonstitusional keberadaan Polri di bawah Presiden," terangnya.
Adapun karena di bawah naungan Presiden, pihaknya saat ingin meminta kejelasan kasus kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, untuk bertemu saja sulit. "Untuk bertemu Presiden saja sulit, tapi tidak sesulit bila Polri di bawah Kemenhan," ujarnya.