REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Mantan menteri hukum dan HAM Yusril Ihza Mahendra mendaftarkan gugatan uji materi Pasal 97 ayat (1) UU Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pasal 97 ayat (1) UU berbunyi, 'Jangka waktu pencegahan paling lama 6 (enam) bulan dan setiap kali dapat diperpanjang paling lama 6 (enam) bulan.'
Yusril menganggap anak kalimat yang berbunyi 'dan setiap kali dapat diperpanjang paling lama 6 (enam) bulan' bertentangan dengan asas negara hukum, kepastian hukum, dan keadilan. Serta, hak dan kebebasan setiap orang untuk meninggalkan wilayah negara RI kapan saja mereka mau, dan bebas untuk kembali.
Hal itu sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28E ayat (1) UUD 1945. Karena itu, ia memohon MK agar membatalkan anak kalimat Pasal 97 ayat (1) tersebut. "Hakim konstitusi harus menyatakan pasal itu tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat," ujar Yusril, Kamis (15/9).
Yusril menjelaskan, dalam sebuah negara hukum, tidak boleh ada norma UU yang memberi peluang kepada penyelenggara negara untuk bertindak sewenang-wenang. Karena hal itu sama saja melanggar hak-hak dan kebebasan konstitusional warga negara yang diberikan UUD 1945.
Pasal 97 itu, kata dia, memberi peluang kepada Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung, Menteri Keuangan, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan Kapolri untuk mencegah seseorang seumur hidup. Perpanjangan pencekalan dapat diperpanjang setiap enam bulan sekali.
Yusril menilai hal itu adalah bentuk kecerobohan Pemerintahan SBY dan DPR dalam membuat UU. "Padahal isinya terang-terangan bertentangan dengan UUD 1945," katanya menegaskan.
Yusril mengatakan, langkah yang ditempuhnya adalah bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan yang dilakukan pemerintah. Ia merasa kebebasan yang dialaminya menjadi terbatas. Hal itu terkait status tersangka yang melekatnya dalam kasus Sisminbakum, sehingga tidak bisa ke luar negeri akibat surat pencekalan Kejaksaan Agung.
Yusril menyebut, kasus yang menimpanya menjadi tak menentu setelah Mahkamah Agung (MA) membebaskan Romli Atmasasmita, tersangka lain dalam kasus Sisminbakum. Dalam kasus itu, ia dianggap mengetahui, membiarkan dan memberi kesempatan kepada Romli yang menjabat dirjen Administrasi Hukum Umum (AHU) Kemenkum HAM ketika dirinya menjadi Menteri Hukum dan HAM.
"Kalau Romli tidak terbukti melakukan korupsi, maka pengetahuan apa yang saya miliki, pembiaran apa serta kesempatan apa yang saya berikan kepada Romi," tanya Yusril.
Yusril menilai kasus tersebut semestinya di SP3 alias dihentikan. Sayangnya Kejaksaan Agung masih saja mencari-cari alasan yang tak jelas agar statusnya terkatung-katung. Karena itu, kalau permohonannya dikabulkan MK, implikasinya langsung dirasakan semua warga Indonesia. "Ini juga bagian dari perjuangan penegakan HAM," klaimnya.