REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Sejumlah catatan diberikan oleh Komisi III DPR RI kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebelum menyatakan keseriusan untuk menghentikan pemberian remisi kepada terpidana kasus tindak pidana korupsi.
Anggota Komisi III dari Fraksi PDIP mengingatkan, penghentian remisi jangan menjadi strategi jalan pintas pemerintah dengan melupakan carut marut penegakan hukum yang banyak diwarnai mafia hukum. "Masalah utama sistem peradilan kita adalah gagal memberikan hukuman setimpal kepada koruptor," ujar Anggota Fraksi PDIP, Eva Sundari, kepada Republika, Jumat (16/9).
Dalam catatan yang dilihatnya dari Indonesia Corruption Watch (ICW), rata-rata pelaku korupsi hanya dipidana selama enam bulan. Tidak mengherankan banyak mafia hukum beraksi untuk menjamin pemberian masa hukuman yang ringan, dan membuat remisi tidak terlalu berarti. "Jadi benahi dulu pokoknya, yaitu penghukuman melalui pengadilan. Jangan dialihkan ke penghukuman di luar pengadilan," tegas Eva.
Setelah persoalan hukum tersebut mampu diatasi pemerintah, penghentian remisi bagi koruptor dapat dijadikan pilihan kedua. Namun Eva tetap memandang bahwa pemberian hukuman yang ringan kepada pelaku tipikor sebagai kegagalan SBY dalam menegakkan supremasi hukum di Indonesia. "Tidak ada perbaikan di bidang hukum yang signifikan, alias stagnan," katanya.
Usulan penghentian remisi bagi pelaku korupsi oleh SBY disampaikan Staf Khusus Presiden Bidang Hukum, HAM dan Pemberantasan KKN, Denny Indrayana, kemarin. Penghentian pemberian keringanan masa hukuman dianggap akan memberikan efek jera yang lebih kuat kepada terpidana kasus korupsi.