REPUBLIKA.CO.ID,MEDAN--Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie mengatakan, rakyat Indonesia belum dapat menerima jika koruptor yang menjadi narapidana mendapatkan remisi atau pengurangan masa hukuman. "Karena itu, saya setuju adanya moratorium (penundaan) remisi koruptor," katanya usai halalbihalal dan Dies Natalis Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Indonesia (KAHMI) Sumatera Utara di Medan.
Jimly mengatakan, pemerintah harus menyadari jika rakyat Indonesia sedang marah terhadap pelaku pencurian uang negara tersebut. Karena itu, banyak muncul aspirasi dari rakyat agar remisi untuk para koruptor tersebut dimoratorium.
Namun, jika berkeinginan untuk merealisasikan aspirasi rakyat itu, diperlukan adanya aturan yang menjadi payung hukum bagi petugas. "Jadi, harus ada aturan, bukan sekadar moratorium verbal," katanya.
Ia menjelaskan, aturan tersebut dapat berbentuk peraturan pemerintah (PP), peraturan presiden (Perpres), atau keputusan menteri (Kepmen). Dalam aturan itu dapat dibuat sejumlah ketentuan untuk menyahuti aspirasi rakyat seperti pemberlakuan syarat yang berat bagi koruptor yang mengajukan permohonan remisi.
Dengan adanya aturan tersebut, pejabat Kementerian Hukum dan HAM (Kemkumham) baik setingkat menteri mau pun direktur jenderal (Dirjen) memiliki payung hukum untuk menunda remisi bagi koruptor.
Aturan itu dapat memudahkan menteri atau dirjen di lingkungan Kemkumham selanjutnya untuk menjalankan moratorium tersebut. Selain itu, aturan tersebut juga dibutuhkan agar ada landasan yang tidak menyebabkan para koruptor tersebut protes karena tidak mendapatkan remisi.