REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Masyarakat Peduli Pemilu (MPP) menyatakan bahwa pengesahaan pembahasan RUU Penyelenggara Pemilu (PP) ke Tingkat II telah melanggar amanat konstitusi.
Peneliti dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Veri Junaidi, mengingatkan bahwa dalam Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 disebutkan bahwa penyelenggara pemilu bersifat tetap, nasional, dan mandiri. "Sulit bagi penyelenggara membuat kebijakan yang netral dan memfasilitasi seluruh penyelenggara pemilu," ujarnya saat menggelar demonstrasi di luar Gerbang Komplek DPR RI, Selasa (20/9).
MPP menolak substansi RUU PP yang akan mengizinkan masuknya unsur partai politik dalam Komisi Pemilihan Umum (KPU), Bawaslu, serta Dewan Kehormatan Penyelenggara Penyelenggaran Pemilu (DKPP).
MPP terdiri dari Perludem, Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Central for Electoral Reform, Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Jakarta, dan Indonesian Parliamentary Center (IPC).
Menurut Veri, sejumlah ancaman nyata terhadap demokrasi penyelenggaraan pemilu tertuang dalam sejumlah substansi RUU PP. Diantaranya adalah dihapuskannya batasan waktu bagi orang parpol untuk mendaftar. "Ketentuan syarat keanggotaan KPU dan Bawaslu, yang minimal sudah lima tahun tidak menjadi anggota parpol juga dihilangkan," jelasnya.
Yang lebih mengkhawatirkan adalah unsur keanggotaan DKPP. Dalam RUU PP, DKPP harus terdiri dari satu orang anggota KPU, satu orang dari Bawaslu, empat orang dari masyarakat, satu dari pemerintah, dan perwakilan dari seluruh parpol yang duduk di DPR. "Kecuali empat orang dari masyarakat, semua unsur penyelenggara pemilu bisa berasal dari parpol. Ibarat permainan bola, mana mungkin pemain rangkap jadi wasit?" gugat Veri.
Karena itu, selain menolak masuknya unsur parpol dalam KPU, dan Bawaslu, MPP juga menentang perwakilan parpol dan pemerintah dalam DKPP. Perludem dkk juga mendesak pemerintah dan DPR untuk tetap mempertahankan ketentuan pasal 11 huruf (i) dan Pasal 86 huruf (i) dalam RUU PP.