REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA - Akhir tahun ini, pemerintah berencana mengeluarkan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) mengenai pengembangan produk rekayasa genetika. Menurut pengamat pertanian, Khudori, pemerintah harus satu suara dalam urusan Genetically Modified Organism (GMO) ini.
Apalagi, GMO kelak menjadi teknologi peningkatan produksi pangan di Indonesia. “Saya lebih mendorong pemerintah jangan gegabah dan perlu kehati-hatian,” ungkapnya saat diwawancarai Republika.
Hingga saat ini, lanjutnya, respon terhadap GMO masih kontroversial dari pemerintah, petani, hingga LSM lingkungan. Datanya pun belum ada.
Indonesia perlu belajar dari pengalaman buruk pengembangan kapas transgenik Bollgard di Sulawesi Selatan beberapa tahun lalu. Pengembangan dilakukan perusahaan agrokimia dan bioteknologi pertanian asal Amerika Serikat, Monsanto. Saat itu, Kementerian Pertanian (Kementan) melegalkannya karena bisa memberikan hasil panen 2–3 kali lipat dari tanaman kapas biasa.
Kementan saat itu bersandar pada Undang-Undang Nomor 12/1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman. Aturan tersebut tak mengharuskan adanya analisis mengenai dampak lingkungan terhadap tanaman transgenik.
Pandangan berbeda datang dari Kementerian Lingkungan Hidup (LH) yang justru menyaratkan analisis dampak lingkungan untuk tanaman hasil rekayasa genetika itu. Kementerian LH melihat bahaya kapas transgenik itu berpotensi menganggu keseimbangan lingkungan
Perbedaan aturan hukum dari dua kementerian itu jelas-jelas mewakili dua pandangan berbeda terhadap pengembangan hasil rekayasa genetika. Oleh karenanya, lanjut Khudori, Permentan tersebut hendaknya ikut tercermin dalam aturan-aturan hukum dari Kementerian manapun.