REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Keinginan Komisi III DPR agar Presiden SBY menggenapi nama calon pimpinan KPK dinilai tidak konsisten dengan pemilihan Ketua KPK ketika Busyro Muqqodas terpilih. Koordinator bidang Hukum Indonesia Corruption Watch, Febridiansyah, mengingatkan, DPR dapat dinilai membangkang dari putusan MK jika tetap meminta dikirimkan sepuluh nama.
Saat ini, DPR menggunakan dasar Pasal 30 ayat 10 untuk meminta Presiden mengirimkan 10 capim KPK karena DPR diwajibkan untuk memilih lima pimpinan KPK. Tetapi, jika konsisten pada pasal yang sama, seharusnya DPR juga menolak pengiriman dua nama calon pengganti Ketua KPK pengganti Antasari Azhar pada 2010 lalu.
"Sikap DPR saat ini seolah-olah UU KPK harus ditafsirkan secara kaku dan tidak boleh menyimpang," ujar Febri dalam sebuah diskusi yang juga menghadirkan anggota Komisi III DPR dari Fraksi Golkar, Nudirman Munir, Kamis (22/9).
Saat pemilihan Ketua KPK, Febri melihat DPR menggunakan pendekatan logika antarpasal UU KPK saling terkait satu sama lain dalam sebuah konteks dan penafsiran yang sistematis. Tetapi saat ini, Komisi III justru bersikap ngotot dengan hanya berpegangan pada satu pasal.
Soal putusan MK No. 5 Tahun 2011 yang dibacakan pada 20 Juni lalu, Febri meminta DPR untuk membacanya secara lengkap, baik amar putusan maupun pertimbangan hakim. Dalam pertimbangannya, di halaman 76, hakim memberikan catatan bahwa untuk menghindari ketidakpastian hukum pada masa transisi, maka putusan tersebut berlaku pada pimpinan KPK yang sudah terpilih, yaitu Busyro Muqqodas dan ini berlaku retroaktif atau berlaku surut.
Di halaman yang sama, hakim juga mengatakan untuk menjamin kesinambungan agar pimpinan KPK tidak lagi dipilih dari awal. "Jadi tak harus dipilih serentak lima orang, dan pimpinan yang lama masih bisa menjabat di periode berikutnya," tambahnya.
Sekalipun ragu DPR memiliki indikator yang rinci dalam pemilihan empat pimpinan KPK dalam uji kepatutan dan kelayakan yang masih dijadwalkan, ICW meminta DPR bersama-sama lembaga hukum lainnya untuk memperkuat KPK. Dan bukannya memilih pimpinan KPK sekadar berdasar transaksi politik dan menyelamatkan teman-teman politik yang berpotensi dijerat KPK.