REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Apresiasi masyarakat internasional terhadap pidato Presiden Palestina, Mahmoud Abbas, sangat kentara.
Namun bisa jadi apresiasi itu hanya sebatas keterkaitan emosional atau hanya momentum belaka agar terlihat masyarakat internasional berpihak pada Palestina. "Jadi belum ada jaminan tidak akan ada hak veto," papar Ketua MUI Bidang Luar Negeri, Muhyiddin Junaidi, kepada Republika.co.id, di Jakarta, Selasa (27/9).
Karena itu, kata dia, seandainya hak veto dikeluarkan oleh Amerika Serikat, maka Palestina perlu menjalankan langkah-langkah seperti melobi kembali DK tetap PBB dengan konsep win win solution.
Mengajukan kembali permohonan menjadi anggota dan melakukan class action kepada Mahkamah Internasional untuk mengajukan permohonan kembali keanggotaan PBB. "Persoalannya, standar ganda pemilik hak veto," ujarnya.
Dalam perkembangannya, negara pemilik veto PBB yang juga merupakan negara maju dengan jelas menjalankan politik standar ganda. Misalnya, negara baru dengan penduduk mayoritas beragama non-Muslim dapat dengan mudah menjadi anggota PBB. "Sudan selatan misalnya," kata Muhyiddin.
Sebaliknya, negara baru berpenduduk mayoritas Muslim, seperti Kosovo dan Palestina sulit menjadi anggota PBB. "Ini ketidakadilan yang dipertontonkan oleh masyarakat internasional," tegasnya.
Muhyiddin tidak menafikan situasi itu disebabkan ada kepentingan lain di balik standar ganda tersebut. AS misalnya, Presiden Obama sulit untuk tidak mengeluarkan hak veto, sebab akan mengancam peluangnya untuk terpilih kembali.
Oleh sebab itu, organisasi dunia lain seperti Liga Arab, GNB, OKI dan negara-negara yang berpihak pada Palestina agar menjalankan class action. Pertanyaannya apakah itu bisa atau tidak. "Cukup berat, makanya lobi-lobi terhadap pemilik hak veto merupakan hal yang relevan," pungkasnya.