REPUBLIKA.CO.ID, LONDON - Sepasang suami istri tenaga kerja Indonesia (TKI) Karsim Kosim Saruan dan Junani Sarni Asnam tidak dapat mengungkapkan keharuan mereka saat diterima Dubes RI untuk Tunisia Muhammad Ibnu Said di Wisma Duta di Tunis. Pasangan itu dievakuasi dari Libya pada akhir pekan lalu.
Kedutaan Besar RI dalam keterangannya menyebutkan bahwa kepada Dubes RI mereka menceritakan pengalaman selama perang Libya yang berkali-kali hampir merenggut nyawa mereka. Suami istri asal desa Bungko, Kepetakan, Cirebon, Jawa Barat, tersebut mengaku bekerja kepada seorang keponakan mantan pemimpin Libya Moammar Qaddafi yang memegang jabatan tinggi di masa kekuasaan rezim Khaddafi.
Tugas mereka adalah mengurus salah satu dari sekian banyak villa milik majikan yang terletak di wilayah Tajura, di suatu perkebunan dan peternakan luas. Vila itu dilengkapi dengan kolam renang dan bahkan lapangan bola. Meereka berdua mengaku mendapatkan gaji yang cukup baik.
Tempat tersebut kerap menjadi tempat berpiknik keluarga besar majikan atau tempat pertemuan pengurus asosiasi bola Libya yang diketuai oleh majikan. Tengah malam di akhir bulan Februari, massa yang antipati terhadap keluarga Qaddafi menyerang villa, menghancurkan kedua gerbangnya, memecah semua jendela kaca, menjarah seluruh barang berharga termasuk beberapa mobil yang terparkir di garasi.
Karsim yang kepalanya ditodong tiga pucuk pistol tak dapat berbuat apa-apa untuk menolong istrinya yang juga ditodong pistol, juga diancam pisau di lehernya. Mereka akhirnya dapat bernafas lega bahwa massa tidak menyalurkan kemarahan kepada keluarga Qaddafi.
Keduanya kemudian mengungsi ke sebuah apartemen kecil milik majikan di wilayah Janzur demi menghindari kejaran massa. Sebulan berada di sana, keberadaan mereka diketahui massa. Apartemen tersebut diserang pasukan NTC.
Beruntung informasi penyerangan telah mereka ketahui sebelumnya sehingga mereka sempat bergegas lari menyelamatkan diri ke suatu kompleks militer dekat bab Aziziyah, Tripoli. Apartemen yang mereka tinggalkan hangus terbakar.
Di kompleks militer tersebut, mereka tinggal di rumah milik kakak dari majikan yang merupakan seorang pejabat tinggi militer dan kalangan dalam Qaddafi. Namun mereka tidak juga dapat merasa tenang.
Hampir sebulan di sana, pada suatu malam di akhir April lalu, saat seluruh penghuni rumah berada di ruang tengah, bom jatuh menimpa dapur. Dapur rumah terletak agak terpisah dari ruang tengah karena bangunan yang memanjang. Namun begitu, banyak pecahan kaca melayang hingga ruang tersebut dan menimpa kaki Junani sehingga terluka.
Seluruh penghuni rumah saat itu juga lari berhamburan keluar rumah. Setengah bagian rumah hancur dan hangus terbakar. Serangan pemboman yang sama menewaskan Saiful Arab, putra Muammar Khaddafi, dan tiga orang cucu Qaddafi, yang tinggal tidak jauh dari rumah mereka.
Luka yang tidak mendapatkan perawatan medis karena tidak boleh ke rumah sakit ataupun berhubungan dengan orang luar itu akhirnya mengalami infeksi dan membengkak besar. Lari dari rumah tersebut, kedua WNI kemudian ikut mengungsi ke kawasan dalam Bab Aziziyah yang menjadi tempat pertahanan terakhir keluarga Qaddafi di Tripoli.
Pada pertengahan Juni, mereka kembali mengungsi ke sebuah apartemen kecil di kawasan Gergaresh, yang dikontrak dari warga sipil setempat. Dua hari kemudian, rumah keluarga di Bab Aziziyah diserang pasukan oposisi.
Dalam apartemen kecil tersebut, lebih dari 20 orang anggota keluarga besar majikan tinggal bersama-sama. Keduanya sempat berupaya kabur dari apartemen tersebut untuk mencari alamat KBRI, namun tidak berhasil. Saat kabur, mereka menginap di rumah oleh salah seorang pegawai majikan, sebelum pulang kembali ke apartemen tempat keluarga majikan mengungsi.
Pada 20 Agustus, keberadaan mereka tercium oleh pasukan oposisi. Pasukan oposisi yang menaruh curiga kemudian secara berkala menembaki apartemen tersebut dari luar hingga dindingnya banyak yang bolong.
Setiap terjadi penembakan, mereka bersembunyi di teras atap rumah. Pasukan oposisi juga terus berpatroli, sehingga mereka tidak berani keluar. Selama dalam kepungan tersebut, seluruh penghuni rumah terpaksa makan apa adanya, kadang hanya terdiri dari nasi dan saus tomat, makanan yang serba sedikit dibagi, sekadar mengganjal perut.
Setelah Lebaran, seorang dokter teman dari keluarga majikan dikontak untuk datang mengambil kedua WNI. Beberapa petugas patroli membiarkan dokter masuk karena mengaku rumah tersebut rumahnya sendiri yang ditinggalkannya karena perang, dan bukan tempat pengungsian keluarga Qaddafi.
Petugas percaya setelah melihat yang keluar dari rumah adalah kedua WNI yang diakui sebagai pembantu dokter, sementara penghuni lainnya bersembunyi. Keduanya kemudian diantar ke rumah tempat kedua WNI kabur sebelumnya.
Dokter tidak berani mengantarkan mereka mencari alamat KBRI dengan alasan jalanan tidak aman. Meskipun sudah tidak serumah dengan keluarga Qaddafi namun mereka tidak bisa merasa tenang. Trauma selama perang, di mana kerap hampir merenggut nyawa mereka membuat mereka selalu was-was.
Setiap terdengar suara bom, mereka segera lari keluar rumah. Demikian juga jika mendengar ada bangunan yang dibakar. Meskipun tetap takut, selama di rumah tersebut mereka tidak lagi menjadi sasaran penembakan, tidak seperti di rumah pengungsian sebelumnya.
Mereka ingin menghubungi KBRI namun tidak memiliki nomor kontak yang dapat dihubungi. Mereka sebelumnya tidak pernah melaporkan diri ke KBRI dan tidak pernah berhubungan dengan kalangan di luar keluarga majikan.
Satu-satunya kontak yang bisa mereka hubungi adalah pihak-pihak yang memberangkatkan mereka ke Libya. Sayangnya, saat keduanya meminta bantuan mereka untuk mencarikan kontak KBRI, mereka menjawab tidak tahu-menahu urusan kedua TKI.
Mereka tidak mengakui pernah mengirim mereka ke Libya. Barulah pada 20 September, pemilik rumah di mana mereka menginap bersedia mengantarkan mereka mencari alamat KBRI.
Mereka akhirnya menemukan alamat KBRI sekitar pukul 1 siang. Oleh Muhammad, pegawai setempat KBRI Tripoli, mereka diberitahu nomor telepon Tim Evakuasi. Keduanya mengaku sangat lega karena sekian lama tercekam perang dan untuk pertama kalinya mereka dapat berkomunikasi dengan sesama warga Indonesia.
Pada Sabtu 24 September, sekitar pukul 05.00, keduanya dievakuasi ke Tunisia, dan tiba di Wisma Duta malam harinya, di mana mereka disambut langsung oleh Dubes RI.
Junani mengaku selama tujuh bulan mereka hanya menunggu hari seperti ini, sambil menangis membayangkan mereka tidak akan sempat bertemu kembali dengan putra mereka yang mereka titipkan kepada neneknya di kampung.