REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING - Cina gusar dengan keputusan AS untuk menjual senjata ke Taiwan. Muncul isyarat bahwa negara tirai bambu itu akan menahan atau menunda beberapa pertukaran militer sebagai respon sikap AS.
Menteri luar negeri Cina, Yang Jiechi, di New York, Senin (26/9). meminta AS mempertimbangkan ulang paket 5,3 milyar dolar yang terutama berupa paket untuk meningkatkan kemampuan jet temput Taiwan, dalam pertemuan dengan Menlu AS, Hillary Clinton.
Pemerintahan Obama rupanya mengungkap rencana penjualan pemutakhiran perlalatan militer itu pekan lalu.
Yang tak mengeluarkan ancaman konsekuensi secara spesifik, namun pejabat Cina lain dalam pertemuan-pertemuan sebelumnya 'menggarisbawahi' sejumlah langkah yang akan diambil sebagai tanggapan keputusan AS. Situasi itu diungkapkan Departemen Luar Negeri AS lewat transkrip yang dimuat di situs resminya.
"Saya pikir mereka mengisyaratkan untuk menahan atau membatalkan atau menunda sejumlah kesepakatan militer," bunyi kutipan seorang pejabat.
Namun pejabat juga menegaskan respon Cina tak akan menyentuk skala penghentian ikatan militer sepenuhnya. "Beberapa aktivitas, sebagai bagian kerjasama militer akan ditunda, dijadwalkan ulang atau dibatalkan," ujar pejbat. "Bahwa kondisi tak biasa itu akan terjadi, tidak akan diumumkan segera."
Cina yang masih bersikeras menanggap Taiwan bagian dari wilayahnya untuk dipersatukan--dengan kekuatan bila diperlukan--juga melakukan respon serupa dalam sikap AS sebelumnya yang juga menjual paket militer ke Taiwan pada Januari 2010. Cina saat itu menghentikan semua ikatan militer selama 12 bulan begitu kesepakatan antara Taiwan dan AS diumumkan.
Namun retorika Beijing kini lebih mewujud ke kebijakan nyata ketimbang masa lalu. Mereka saat ini cenderung merespon dengan aksi nyata.
"Keputusan salah yang dilakukan AS terhadap Taiwan secara tak terelakkan telah mencederai hubungan AS- Cina, begitu juga hubungan dan kerjasama dalam keamanan dan militer," ujar juru bicara Kementrian Luar Negeri, Hong Lei, dalam jumpa pers harian. "Tanggung jawab itu sepenuhnya berada di pihak AS."