REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Sebanyak enam hakim agung menjalani uji kelayakan dan kepatutan di DPR.
Namun salah satu yang terpilih, yakni Gayus Lumbuun, masih mendapatkan sorotan dari publik. Peneliti lembaga kajian dan advokasi untuk independensi peradilan, Astriyani Achmad, mengatakan prihatin dengan terpilihnya Gayus.
"Bukan karena Pak Gayusnya, tetapi idealnya hakim agung tidak memiliki afiliasi dengan partai politik manapun," katanya saat dihubungi, Jumat (30/9).
Apalagi, jika dilihat sejauh ini, karir Gayus lebih banyak di sektor politik. Ia meragukan Gayus bisa melepaskan keterikatan politiknya ketika menjabat sebagai hakim agung. "Apakah dia bisa serta merta memutuskan hubungan politiknya? Karena saya khawatir hal seperti itu akan mengganggu independensi," Astri.
Astri tak sepenuhnya menyalahkan DPR sebagai biang keladi atas terpilihnya Gayus, tetapi dari tahap seleksi awal di Komisi Yudisial (KY) pun memberikan kontribusi atas hal tersebut.
Menurut Astri, hakim agung idealnya memang orang yang tenang, tidak reaktif, dan tidak mudah diintervensi baik melalui kekuatan apa pun—termasuk kekuatan politik. Terlebih lagi, dengan posisi Mahkamah Agung (MA) yang lebih bebas dan independen secara struktur, harus didukung oleh hakim yang mengusung nilai-nilai yang sama.
Tetapi Astri mengaku gembira dengan hasil yang didapat sekarang, karena calon dari peradilan agama tidak diloloskan. Artinya, DPR melihat kebutuhan MA tidak pada peradilan tersebut, tetapi pada peradilan pidana dan perdata.
Dari rilis MA sendiri dikatakan, kebutuhan paling banyak adalah hakim perdata dan pidana. Sebab dari perkara yang ada, 83 persennya untuk kasus perdata dan pidana. Hal ini tak sebanding dengan jumlah komposisi hakim yang hanya 68 persen.