REPUBLIKA.CO.ID, CHARLOTTE – Awalnya, Arrissa El-Amin begitu khawatir dengan identitas keislamannya saat memasuki lingkungan baru. Nyatanya, sudah 20 tahun ia beserta keluarga menetap di Charlotte, kekhawatiran itu tidak terbukti.
Arrissa bahkan merasa puas. Ia menemukan kota yang begitu terbuka menerima identitasnya sebagai Muslim. "Satu yang membahagiakan saya, para tetangga memberikan kesempatan kepada kami sekeluarga untuk menunjukkan identitas sebagai Muslim," ungkapnya seperti dikutip clct.com, Jum'at (30/9).
Alasan kekhawatiran Arrissa bukan tanpa sebab. Jarak Kota Charlotte dengan Nashiville—kota dengan mayoritas penganut Evangelis fanatik—sangat dekat. Ia memperkirakan warga lokal bakal bersikap anti-Islam, selayaknya warga Nashville.
"Tentu saya khawatir, mengingat populasi Muslim di Charlotte tidak sebanyak di California. Hanya ada 10.000 populasi Muslim di kota ini pada dekade 90-an," tuturnya.
Seiring berlalunya waktu, Arissa pun merasa nyaman dengan suasana keagamaan di Charlotte. Ia tidak pernah mengalami perlakuan diskriminasi. "Alhamdulillah, saya merasa keputusan untuk pindah merupakan langkah yang tepat," katanya.
Hampir 20 tahun lamanya komunitas Muslim Charlotte memperkenalkan Islam kepada warga sekitar. Perkenalan itu memberikan dampak yang besar. Komunitas ini tumbuh beragam. Mereka berasal dari 20 negara dan etnis berbeda, dengan pekerjaan yang juga beragam—mulai dari polisi, guru hingga pelatih sepak bola.
Jibril Hough, salah seorang mualaf yang memeluk Islam pada 1991, mengakui betapa beragamnya Muslim Charlotte. Menurutnya, kunci keberagaman itu terletak dari keberhasilan dialog dan toleransi antar agama. "Saya merasakan, dahulu saya mengalami penolakan. Kini, mereka menghormati putusan saya," tuturnya.
Namun keberagaman itu bukan tanpa tantangan. Keberadaan tokoh anti Islam masih menjadi ancaman terhadap keharmonisan hubungan antar agama di Charlotte.
Faid Shakir, salah seorang peneliti, mengatakan Charlotte merupakan kawasan yang dipengaruhi tokoh Evangelis yang membenci Islam. Sebut saja anggota parlemen dari Partai Republik, Sue Myrick dan Franklin Graham. "Mereka ini mencap Islam identik dengan teroris," ujarnya.