REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Badan Anggaran (Banggar) dituding menyalahi prosedur, karena tidak mengikutsertakan Komisi IX DPR yang membidangi masalah transmigrasi , tenaga kerja, kependudukan, dan kesehatan.
Namun, Wakil Ketua Banggar, Tamsil Linrung menyatakan bahwa membahas soal dana PPIDT yang merupakan transfer anggaran ke daerah tidak memerlukan Komisi IX dalam pembahasan penyusunannya. Dalam Undang-Undang Nomor 34 Pasal 108, pembahasan mengenai tranfer anggaran dari pusat ke daerah tidak perlu dibahas oleh Komisi di DPR.
"Karena berdasarkan undang-undang , dana transfer daerah tidak perlu dibahas oleh Komisi IX," kata Tamsil usai menjalani pemeriksaan di Kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) , Jakarta, Senin (3/10).
Seperti diketahui, Banggar disebu-sebut sebagai pihak bertanggung jawab dalam kasus suap itu. Salah satu pihak yang menuding keterlibatan Banggar adalah Indonesian Corruption Watch (ICW).
Menurut Koordinator Monitoring Analisis Anggaran ICW, Firdaus Ilyas, bicara soal proses anggaran, ada dua sisi mekanisme yang saling berhubungan. Yaitu, pihak kementerian yang mengusulkan suatu kegiatan yang kemudian dikoordinasikan dengan pihak di Kementerian Keuangan untuk membahas angngaran.
Dalam hal ini, adalah Ditjen Perimbangan Keuangan yang mempunyai tugas merumuskan dan melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Setelah itu, dua kementerian itu akan melaporkan usulan kegiatan itu ke komisi yang menangani bidang tertentu di DPR.
“Nah yang jadi masalah adalah pada program PPIDT itu, Komisi IX DPR tidak diberitahu. Tetapi justru program PPIDT itu langsung sampai ke Banggar DPR,” kata Firdaus saat dihubungi Republika, Rabu (28/9) pagi.
Menurutnya, hal tersebut jelas salah secara prosedur. Seharusnya, Banggar DPR itu membahas suatu anggaran program harus melalui usulan dari masing-masing komisi dulu.
“Dikhawatirkan karena prosedurnya yang sudah salah sejak dari awal itu akan memunculkan banyak penyelewengan seperti terjadinya kasus percobaan suap sebesar Rp 1,5 miliar itu,” katanya.
Firdaus menjelaskan, penyelewangan itu muncul karena pelaksanaan program anggaran itu tidak mendapatkan pengawasan dari Komisi IX selaku komisi yang menangani program tersebut.
Oleh karena itu, ia menyebut dalam kasus suap Kemenakertrans itu, para pejabat di Ditjen Perimbangan Keuangan dan Banggar DPR sebagai pihak yang ikut bertanggung jawab selain dari pejabat Kemenakertrans sendiri.