REPUBLIKA.CO.ID,MONTANA—Kabar gembira datang dari Montana AS. Salah seorang mahasiswa Indonesia asal Yogyakarta, Ardina Hasanbasri, menjadi Presiden Asosiasi Mahasiswa Muslim (MSA) Universitas Montana. Hebatnya, Ardina merupakan Muslimah pertama yang menjabat sebagai presiden Asosisasi.
“Saya tidak ingin disebut sebagai yang pertama. Saya tidak menginginkan sterotip itu,” papar ia seperti dikutip www.montanakaimin.com, Selasa (18/10).
Ardina menyatakan keinginannya untuk menunjukan kepada anggota Asosiasi dan khususnya masyarakat AS, statusnya sebagai Muslimah akan lebih banyak terlihat melalui tindakan. Sebab melalui tindakanlah, masyarakat AS akan lebih mudah memahami Islam dan Muslim.
“Alih-alih memberitahu siapa saya, saya ingin menunjukan kepada mereka melalui tindakan,” kata dia. Sebabnya, dalam program ke depan, Ardina berjanji akan meningkatkan aktivitas sosial keagamaan organisasi yang dipimpinnya. “Fokus organisasi mungkin berubah tahun ini. Bisa jadi akan lebih banyak kegiatan sosial keagamaan,” katanya.
Ardina juga mengatakan keinginannya agar semua anggota memiliki suara dalam MSA.
"Saya ingin menciptakan organisasi lebih dinamis. Hal ini tentu tergantung pada apa yang mereka pikirkan," kata Ardina.
Penasihat MSA, Khaled Huthaily, menilai dunia Islam tidak melulu soal shalat lima waktu. Ada sebuah ruang, khususnya bagi perempuan untuk turut serta memajukan organisasi. “Kami tentu berharap kian banyak perempuan yang berpartisipasi. Kendati akan ada sejumah penolakan,” katanya.
Khaled menyadari ada sejumlah pihak yang tidak nyaman. Tapi ia percaya, rekannya itu akan menjadi pemimpin yang baik.
Fuad Bukhari, seorang mahasiswa Arab Saudi, mengatakan ia tidak memiliki masalah dengan terpilihnya Ardina, “Anggota organisasi ini adalah saudara. Kami akan membantunya menjadi pemimpin,” katanya.
Rana Alrohaily, wakil presiden MSA, yang berasal dari Arab Saudi, menyatakan sebagian besar mahasiswa Muslim di sini adalah laki-laki sehingga sterotipe yang terbentuk, Muslimah tidak diperkenankan untuk memberikan sumbangsihnya.
"Islam tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan. Hanya saja, ada semacam kesalahpahaman. Yang mereka ketahui tentang perlakuan terhadap perempuan itu identik dengan Islam, ” kata. Alrohaily.