REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Bila penelitian Komisi Yudisial terbukti valid, maka wajah hukum Indonesia kian memprihatinkan. Hasil penelitian Komisi Yudisial (KY) bersama elemen jejaring perguruan tinggi terhadap putusan hakim telah menemukan pelanggaran yang dilakukan oleh hakim terhadap hukum acara.
Komisioner KY Jaja Ahmad Jayus, saat konferensi pers di Jakarta, Selasa (18/10), menyebut berdasarkan penelitian putusan hakim pada 2009-2011 telah menyimpulkan berbagai pelanggaran hakim berdasarkan aspek ketaatan terhadap hukum acara ada lima pelanggaran.
Pertama, masih ditemukannya sejumlah terdakwa yang tidak didampingi oleh penasihat hukum. "Padahal jika dilihat dari ancaman hukumannya, keberadaan penasehat hukum ini diprasyaratkan dalam KUHAP," kaya Jaja jayus.
Kedua, lanjutnya, ditemukan indikasi putusan-putusan yang tidak proporsional dalam memuat pertimbangan para pihak. Ketiga, katanya, masih ditemukan kurangnya elaborasi hakim terhadap keterangan saksi kunci yang dapat mengungkap fakta hukum yang mencerminkan kebenaran material.
Keempat, masih ada putusan pengadilan tinggi terlihat ada ketidakjelasan sikapnya terhadap pelanggaran prosedural menurut KUHAP yang sebenarnya diancam dengan hukuman pembatalan.
Kelima, masih ditemukan pembacaan putusan dengan musyawarah hakim pada tanggal yang sama. "Sekalipun ini bukan pelanggaran hukum acara, namun kesan ketergesaan tidak bisa dihindari," kata Jaja.
Sedangkan berdasarkan aspek ketepatan dalam pemaknaan hukum material, katanya, masih mengandalkan hukum tertulis berupa undang-undang.
Menurut Jaja, ada kesan hakim tidak cukup berani memperkaya pemaknaan UU itu dengan menggunakan sumber hukum lain di luar ketentuan UU yang diajukan oleh jaksa dalam surat dakwaan maupun tuntutannya.
Untuk aspek penalaran hukum, lanjut Jaja, masih ditemukan ketidakruntutan antara premis-premis yang dibangun dan konklusinya. Dari aspek tujuan filosofi penjatuhan sanksi, filosofi penghukuman yang bersifat penjeraan kerap dipandang lebih dibanding filosofi pembinaan.
Aspek profesional hakim, penelitian ini juga menemukan catatan kelemahan hakim dalam putusan pidana dibanding putusan perdata.
Dosen Hukum Unversitas Diponegor (Undip) Joko Priyono, peneliti yang digandeng KY, menyatakan bahwa dalam melakukan penelitian tersebut, pihaknya meneliti 357 putusan, dimana 2009 sebanyak 105 putusan pengadilan negeri untuk perkara pidana perdata, 2010 sebanyak 100 putusan pengadilan negeri untuk perkara pidana perdata dan 2011 meneliti 152 putusan pengadilan tinggi untuk perkara pidana perdata.
Hasil penelitian ini, kata Jaja, untuk mendeteksi kecenderungan umum atas kualitas putusan hakim dan juga dijadikan alat penjaringan dini terhadap hakim yang berkualitas untuk jenjang hakim agung dari karir.