REPUBLIKA.CO.ID, Raphael, seorang warga negara Amerika Serikat menyadari betul setiap hal yang terjadi pada manusia sudah ditentukan oleh Allah. Semua itu sudah tertulis rapi, ketika malaikat meniupkan ruh ke dalam rahim seorang ibu ketika usia kandungannya mencapai 120 hari. Ia bersyukur, terlepas dari agama apa pun yang pernah ia anut di masa lalu, kini ia menjadi seorang muslim. Alhamdulillah.
Ia mengaku jatuh cinta dengan Alquran, apalagi dengan surat An-nasr. “Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat.” (QS. An Nashr: 1-3)
Alquran menurut dia adalah buku terbaik yang pernah ada. "Buku itu perlu dibaca untuk keselamatan umat manusia. Membaca Alquran sama saja dengan mencari tahu apa kehendak Tuhan," ujarnya.
Perlu perjalanan spiritul yang cukup panjang baginya sampai bisa menikmati nikmat Islam. Ia mengatakan Islam adalah satu-satunya agama yang tak perlu didebat. "Semuanya diterima dengan rasa keimanan," ujarnya.
Setelah memutuskan untuk memluk Islam, ia mengaku menerima apa yang diberikan Allah. Ia berharap bisa melakukan yang terbaik dalam menjalani agama Islam.
Berasal dari sebuah keluarga yang taat dengan agama Yehuwa di kota kecil Lubbock, Texas barat, ia lahir di lingkungan yang sangat religius. Banyak gereja di kota itu. Disana dikenal pula sebagai pusat studi alkitab. Ia dibaptis dan dibesarkan menjadi seorang penganut agama Katolik sampai berumur enam tahun.
Ketika ia berumur enam tahun, beberapa tamu berkunjung ke rumahnya untuk mencari kakeknya. Tak lama kemudian, sebuah pusat studi injil berdiri di lingkungan mereka.
Setelah itu, Raphael beserta seluruh keluarganya menjadi saksi dari jemaat Yehuwa. Ia mengaku begitu banyak pengetahuan tentang Injil. Ia heran, semakin ia mengenal injil ia justru semakin merasa banyak yang ‘tercemar’ di kitab suci itu. "Sat itu saya berpikir terlalau banyak yang rancu dalam Injil," ujarnya.
Namun, ia selalu menganggap apa yang berasal dari Tuhan semuanya murni. Seperti halnya Taurat yang diberikan kepada kaum Yahudi, ia pun merasa Injil memang diberikan Tuhan kepada umat Nasrani.
Hidup di lingkungan yang taat, membuat Raphael yang sudah dibaptis berganti menjadi penganut Yehuwa pada usia 13 tahun. Sejak saat itu, ia sudah berambisi untuk mengabdikan dirinya kepad Tuhan.
Ia semakin dalam memperlajari Injil hingga di usia 16 tahun, ia sudah mendapatkan kehormatan untuk meberikan ceramah di hadapan para jemaat. Ia mulai berbicara di depan banyak orang sejak saat itu.
Menjelang usia 20 tahun, ia sudah memiliki jemaat sendiri. Ia harus berperan sebagai pendeta yang mengayomi para jemaatnya.
Ia termasuk salah seorang yang cukup mengakar dan tahu luar dalam ajaraan Yehuwa. Ia menyadari betul jamaat ini berbeda dari jemaat lain. Di negara barat, jemaat ini dipandang sebagai jamaat yang cukup ekstrem dan fundamental.
Dalam agama Yehuwa, diajarkan semuanya buruk kecuali penganut Yehuwa. Saksi-saksi Yehuwa dianggap sebagi satu-satunya yang mendapatkan petunjuk dari Tuhan. Di tahun 1979, ia memutuskan untuk meninggalkan agama Yehuwa. Ia tak bisa lagi mempercayai ajaran agama yang ia anut.
Ia memutuskan untuk meninggalkan agama Yehuwa pada tahun 1979 dan tak akan kembali. Keluar dari Yehuwa ia merasa seperti orang tanpa agama. Tapi ia bersyukur, ia bukanlah manusia tanpa Tuhan.
Sejak saat itu ia mulai melakukan pencarian agama lebih intens. Ia bahkan kembali ke Katholik selama tiga bulan. Namun, Rafael mengaku tak bisa membohongi diri sendiri bahwa agama itu tidak sesuai dengan kata hatinya.
Lima tahun lalu, ia pernah berkesempatan bertemu dengan seorang Muslim. Ia melihat orang Muslim selalu tenang dan bahagia. Mereka sempat berbincang tentang Islam. Namun, ia mengatakan kepada orang yang baru dijumpainya bahwa tak pernah terpikir untuk menjadi seorang muslim.
Ia justru berniat menjadi seorang Kristen. Ia berpikir ia keluar dari Yehuwa barangkali karena Tuhan menginginkannya sebagai seorang Kristen.
Ia pun mulai mempelajari Alkitab pada malam hari. Selama beberapa hari, ia melahap habis bacaan mengenai perjanjian baru, mengulang perjanjian lama, kitab kejadian dan semuanya.
Saat ia membaca mengenai kisah nabi, ia tiba-tiba mengingat perjumpaannya dengan seorang Muslim yang sempat mengenalkannya pada Islam, Alquran dan Allah.
Ia mulai membuka pikiran. Ia tak ingin lagi berpikir seperti Yehuwa yang menganggap hanya ajarannya yang selalu benar. Ia mencari tahu kebenaran ‘teman barunya’ itu. Ia mulai meraba-raba tentang Islam. “Ada 1,2 milyar orang yang beragama Islam”. Ia kemudian memutuskan untuk meilhat Alquran dan mempelajarinya.
Ia mulai membaca Alquran. Seluruhnya ia baca, ia terkagum-kagum dengan Alquran yang baginya semua yang tertulis di situ masuk akal. Ia mengambil Alquran dan bergumam pada Alkitab, “Aku tahu semua ini saling berhubungan satu sama lain”. Ia justru mengerti Alkitab setelah membaca dari Alquran.
Ia mengambil kesimpulan, barangkali ia memang menjadi penganut Kristen yang baik setelah membaca Alquran. "Tuhan menjadikan saya seorang Kristen yang baik" ia lantas mempelajari Alquran.
Terus menerus mempelajari Alquran, ia merasakan kitab milik umat Islam ini lebih sederhana. “Alquran lebih menarik untuk hati dan akal saya”, ujarnya.
Lambat laun, ia mulai menyadari, seperti halnya Injil, Alkitab pun sudah tak murni lagi, banyak yang tercemar disana. Ia meninggalkan Alkitab dan membaca Alquran.
Tak puas hanya membaca Alquran, ia memutuskan untuk segera menemui orang-orang Islam untuk langsung melihat kedaaan mereka. Ia kemudian mendatangi masjid. Setelah mencari info, ia manuju masjid di Kalifornia Selatan. Ia sempat galau dan ragu untuk memasuki tempat ibadah itu. Sempat berkeliling, ia tak kunjung menemukan tempat parkir bagi kendaraannya. Ia bergumam dalam hati bahwa ia hanya ia akan masuk kalau ada tempat parkir.
Saat tepat berada di depan masjid, sebuah mobil keluar. Kegalauannya semakin memuncak. Ragu-ragu, ia berpikir "anda membuat situasi semakin sulit”. Kini ia tak punya pilihan lain kecuali harus memasuki masjid dan menglihat orang-orang Islam di dalam. “Saya merasa gugup pergi ke masjid untuk pertama kalinya”, ujarnya.
Ia mulai berjalan ke pintu masuk masjid. Ada ada seorang keturunan Arab dengan jenggot lebat sedang berjaga. Si penjaga masjid mempersilakan Raphael untuk berkeliling.
Ia sampai di sisi lain masjid, ia melihat beberapa pria sedang berdoa. Sadar kehadirannya cukup mendapat perhatian, Raphael berujar “saya hanya melihat saja”. Saat sudah selesai shalat, Raphael lantas berbaur dengan orang-orang itu.
Mereka mengucapkan salam sapaan "Asalamualaikum", sebuah bahasa yang asing. Raphael tak mengerti apa yang mereka ucapkan.
Melihat raut kebingungan di wajah Rafael, seorang lelaki datang menghampiri. “Anda baru kan?”, kata lelaki yang bernama Umar itu.
"Ya, ini pertama kalinya saya ke masjid", kata Raphael. Umar lantas mengajak rafael berkeliling, menuju tempat wudhu laki-laki.
"Apa itu voodoo", tanya Raphael. Umar menjelaskan apa yang sedang dilakukannya bernama wudhu bukan voodoo. Ia mengajari rafael melakukan wudhu dan begaimana wudhu bisa menyucikan.
Terkesan dengan wudhu, ia memutuskan untuk berdoa seperti orang Islam. Ketika menjadi Kristen, ia hanya berdoa dengan berlutut saja. Ia menemukan sesuatu yang unik ketika berdoa sambil ruku dan sujud.
“Tuhan menciptakan alam dengan segenap isinya mengapa saya tidak bersujud kepadanya? apakah saya sombong?”, ujarnya.
kini Raphael selalu mengingat dan memuja Alquran, "Kita telah memiliki buku paling indah yang pernah diciptakan Tuhan untuk penyelamatan manusia untuk hidup dalam kedamaian, Alquran," ujarnya. Baginya itu adalah kitab yang perlu dibaca sepanjang masa untuk mencari tahu tujuan hidup di muka bumi.