Jumat 21 Oct 2011 07:07 WIB

'Koran by Heart', Kisah Apik Hafidz Cilik dan Konflik Intepretasi Islam di Mata Sutradara Barat

Rifdha, salah satu hafidz cilik dan subjek dalam film Koran by Heart karya sutradara Greg Barker
Foto: Screenshot/YouTube
Rifdha, salah satu hafidz cilik dan subjek dalam film Koran by Heart karya sutradara Greg Barker

REPUBLIKA.CO.ID, Bahwa mereka yang menghafal Al Qur'an tak sekedar menggandalkan otak melainkan juga menggunakan hati seperti dipahami betul oleh sutradara film dokumenter Greg Baker. Sehingga ia pun tak ragu memberi judul tentang kisah tiga hafidz kecil dengan 'Koran by Heart'.

Koran by Heart telah ditayangkan di HBO dan dirilis di saat dunia tengah terguncang serangan Norwegia dan tanggapan terhadap Islambofobia di media Barat. Film ini menawarkan komposisi prespektif kehidupan di dunia Muslim.

Mengikuti tiga Muslim cilik, Nabiollah dari Tajikistan, Ridha dari Maldives dan Djamil dari Senegal, film dokumenter ini menuturkan bagaimana mereka mengikuti kompetisi musabaqah tilawatil Al Qur'an tingkat internasional di Kairo Mesir.

Kompetisi ini menarik ribuan peserta dari seluruh Dunia, banyak dari mereka bahkan tidak bisa berbahasa Arab namun mampu melantunkan ayat-ayat Al Qur'an, dan tentu saja dengan indah. Bahkan di dalam film itu, dimasukkan pula pandangan dari pakar kajian lantunan dan rima Al Qur'an dari Barat.

Ketika beberapa kritikus menggambarkan film itu sebagai "Hipnotis dalam Bahasa Arab", prespektif yang diusung oleh Koran by Heart sendiri di luar kontes para hafidz tadi. Sang Sutradara, Greg Barker, melakukan pendekatan terhadap proyeknya sebagai alat untuk mengeksplorasi pertentangan internal di dalam Islam sendiri antara modernitas dan intepretasi fundamental.

Ketika bocah-bocah tadi meninggalkan rumah mereka untuk kompetisi internasional, sekolah salah satu peserta dituding sebagai alat penyebar ekstremisme Islam, dalam kisah ini adalah sekolah Nabiollah, akhirnya ditutup.

Sementara Rifdha, memiliki orang tua yang terbagi antara pandangan keagamaan dan sekuler. Pertentangan itu tidak tertampil dalam sebuah adegan, melainkan dalam wawancara mengenai prespektif para tokoh dalam film.

Ayah Rifdha berbicara mengenai minimnya 'Muslim yang baik' di Kairo. Dalam pandangan ayah Rifdha, juri utama kontes, sosok Islam moderat ternama, bertanggung jawab atas 'ulah tak bertanggung jawab yang bisa ditemukan di Muslim saat ini', yang masih menurut ayah Rifdha, selip memahami Alquran.

Fokus memang tertuju pada grup anak-anak berbakat yang luar biasa. Mereka dapat menghafal seluruh Alquran, meski tak memahami artinya. Ketika mereka maju ke babak penyisihan hingga final, ketegangan tak hanya berkutat seputar kompetisi itu, tetapi juga masa depan mereka.

Akankah Rifdha, gadis cilik yang cemerlang dengan mimpi menjadi penjelajah laut dalam, bisa merdeka dari harapan ayahnya yang memandang seorang wanita tak perlu sekolah terlalu tinggi karena nanti ia akan menjadi seorang istri?

Akankah Nabiollah, bocah lelaki berwajah malaikat dengan kemampuan mengingat ala fotografi bisa belajar membaca dan menulis? Di sini dituturkan Nabiollah tak mengambil sekolah umum baca tulis dan berhitung, melainkan hanya sekolah agama lokal yang mengajarkan Alquran, tafsir dan Bahasa Arab.

Lalu bocah ketiga Djamil akankah ditentukan untuk menjadi penerus ayahnya, seorang imam lokal yang dihormati dalam lingkungannya?

Majalah pengulas dan kritikus film, Filmmaker, berkesempatan untuk duduk bersama sang pembesut film, Greg Barker yang berlatar jurnalis, mendiskusikan proses konstruksi film, perbedaan antara membuat film dokumenter untuk televisi vs layar bioskop dan (selip) presepsi Barat terhadap Dunia Muslim. Berikut petikan yang dilansir.

Filmmaker: Bagaimana jurnalisme membantu anda mengalami pembuatan film ini.

Barker: Saya cukup beruntung pernah bepergian ke banyak negara Islam dan terutama sebagian besar karena misi jurnalisme dan pekerjaan saya di garis depan. Saya selalu tertarik dan penasaran dalam diskusi bertahun-tahun mengenai Islam terkait bagaimana penyutradaraan seharusnya dilakukan, lebih luas lagi menyoal tentang pandangan lebih konservatif dan fundamentalis dan pandangan yang lebih menerima modernitas. Saya benar-benar ingin menuju ke dasar, bukan sekedar permukaan kompetisi para hafidz, melainkan juga kisah anak-anak tersebut. Awalnya saya tidak tahu bagaimana kisah tersebut akan bergulir. Namun saya memiliki intuisi kisah itu bakal menyangkut pendidikan mereka. Jadi saya pikir latar belakang jurnalisme saya membantu membentuk kerangka terhadap isu lebih besar yang ingin saya sentuh dalam film

Filmmaker: Apakah sulit bagi anda sebagai orang Amerika untuk mendapat kepercayaan dari subjek karakter dalam film anda?

Barker: Ketika saya pergi ke negara-negara yang bukan negara saya, saya masuk dengan mata terbuka dan mendengar. Saya pikir itu adalah kunci yang membuat saya bisa menghasilkan film ini. Seluruh tim saya dan saya sangat bersikap sangat menghormati. Kami tidak berpura-pura tahu segalanya mengenai subjek ini. Kami memasuki dunia sakral dan yang kami lakukan hanyalah terus membuka pikiran dan mendengar mengapa ini penting bagi orang-orang.

Filmmaker: Salah satu sukses film ini adalah ia berhasil mengantarkan pesan bahwa memang di dalamnya adal visi bahwa Islam tidaklah sinonim dengan pertahana militan keyakinan Islamik. Pesan ini tak menuju ke sana, namun film ini juga mengeksplorasi di mana Alquran dapat dikooptasi untuk menjadi dasar ekstrimis.

Barker: Ini bukanlah film dokumenter investigatif. Bagi saya, saya dapat menjangkau pemirsa lebih luas dan memunculkan lebih banyak isu bila saya membuat film yang berkisah sebagai film dan isu-isu itu telah berada di sana. Saya pikir semuanya, termasuk opini saya juga tertuang di sana. Sekolah Nabiollah di tutup karena pemerintah Tajikistan cemas sekolah-sekolah macam itu bisa menyebarkan ekstremisme dalam Islam. Bila anda melihat bahwa Islam dapat dibuat selip dan dibelokkan dan anak-anak itu dicuci otak, maka itu mungkin dan bisa ditemukan dalam film. Itu jelas bisa terjadi. Fakta itu sangat terang, bocah lelaki sepuluh tahun yang tidak belajar apa pun selain Alquran selama delapan jam sehari atau lebih--apakah itu benar?

Filmmaker: Bagaimana anda memaparkan konflik internal di dalam Islam?

Barker: Dalam opini saya, secara garis besar ini berkaitan dengan sikap Muslim yang harus terbuka menerima moderintas dan dunia di luar, dunia non-Muslim. Banyak pemeluk Islam moderat meyakini bahwa ini adalah saatnya. Ini adalah keyakinan yang tengah mencapai puncak dalam arti kekuatan politik, tepatnya 1.000 tahun lalu. Saat itu Islam adalah sesuatu yang kaya dan berkuasa. Namun kini situasi berubah. Saya pikir mereka mencari cara untuk mengembalikan kebesaran itu. Beberapa mengatakan mereka harus kembali ke keaslian, sementara sebagian yang lain mengatakan anda sebenarnya harus memodernkan diri. Saya pikir ini sesuatu yang harus mereka atasi sendiri dan itulah yang kita alami saat ini--ini adalah era fundamentalisme dan ekstremisme Jihad--semua keluar dari pertentangan di dalam keyakinan Islam sendiri.

Filmmaker: Lalu apa yang akan anda katakan terhadap non-Muslim yang meyakini retorika terkutub pada Perang terhadap Teror?

Barker: If anda non-Muslim, semua yang bisa anda lakukan adalah mencoba memahami itu. Sebab bila anda mengatakan Islam adalah agama kekerasan maka tak akan membawa anda pada pengetahuan apa pun. Itu bisa berlaku untuk semua agama. Anda ingin melarang Islam di seluruh dunia? Ada 1,6 miliar Muslim di dunia. Dan pelarangan itu tak mungkin terjadi. Jadi pendekatan lebih baik adalah mencoba memahami itu dan dengan memahami, saya pikir orang akan menyadari bahwa justru perbedaan dan gangguan yang sering digambarkan. Itulah yang ingin saya usung dalam film. Bagi saya, semua anak-anak ini, terutama Nabiollah dan Rifdha, berada pada lintasan kurva. Mereka akan terjebak dalam situasi politik yang melingkari agama mereka. Ini akan terjadi ketika mereka beranjak dewasa. Arah mana yang akan mereka ambil. Dan itu benar-benar perjuangan nyata yang dihadapi keluarga Muslim seluruh dunia. Jalan mana yang akan dipilih, itu pilihan untuk diambil.

Filmmaker: Menurut anda apa implikasi dari karakter film yang mengingat seluruh 600 halaman Alquran tanpa berbicara Arab.

Barker: Saya pikir ini bergantung pada konteks si anak. Ini bisa dilihat sebagai cuci otak atau dipandang sebagai ketaatan terhadap agama. Apa pun itu semua bergantung pada situasi. Yang ingin saya katakan adalah Arab dalam Alquran adalah Arab kuno--Bahasa Arab sangat tua yang analog dengan Inggris kuno. Jadi ketika orang mengingat itu, terutama di usia muda, maka ini adalah bahasa sangat rumit. Ini bukan tipe bahasa yang bisa dipahami oleh anak sepuluh tahun.

Saya pikir ini sulit bagi orang luar untuk menjawab pertanyaan tersebut. Karena tidak seperti Injil, yang bisa diterjemahkan ke bahasa manapun, Muslim meyakini Arab adalah bahasa Alquran yang diturunkan oleh Tuhan. Sehingga meskipun anda menerjemahkan, terjemahan itu bukanlah Alquran kitab suci sesungguhnya. Sehingga ketika Muslim di penjuru dunia pergi ke masjid mereka mendengar dan melantunkan Alquran dalam bahasa Arab terlepas mereka bisa berbicara bahasa itu atau tidak. Mereka lalu mengintepretasikan itu lewat imam atau ulama yang menerangkan dalam bahasa mereka apa arti ayat tersebut.

Filmmaker: Bagaimana rasanya bagi anda merilis film ini di Tribeca Film Festival, sepuluh tahun setelah mereka didirikan untuk merevitalisasi area Lower Manhattan usai serangan 9/11.

Barker: Jujur, saya tidak tahu bagaimana film ini akan ditanggapi. Ini adalah subjek asing bagi pemirsa Barat. Sehingga tantangannya adalah membawa seseorang ke dunia itu dan memastikan mereka tidak tersesat. Yang mengagumkan adalah pemirsa akhirnya memahami siapa yang melantunkan Alquran dengan indah dan mana yang bukan. Mereka terpaku pada anak-anak tersebut. Satu setengah jam kemudian mereka belum tahu, sehingga pemirsa sangat responsif.

Filmmaker: Dalam sesi tanya jawab, satu penonton menanyai ayah Rifdha yang melarang anaknya mengejar pendidikan. Bukan tak bermasuk menghormati keluarga, tapi anda menengahi dan menghentikan pertanyaan itu. Lalu pertanyaan jenis apa yang anda harapkan untuk muncul terhadap film tersebut.

Barker: Saya pikir dalam situasi macam itu, perhatian utama saya adalah untuk keluarga yang telah bepergian sejauh 14 ribu kilometer lebih demi kemari. Saya ingin memastikan mereka merasa nyaman. Pertanyaan tersebut adalah pertanyaan yang saya harap keluar dari pemirsa. Saya yakini itu ada dalam benak setiap orang, terutama karena Rifdha adalah gadis cilik cemerlang yang mengagumkan dan memang sangat mengejutkan mendengar apa yang diucapkan ayahnya.

Filmmaker: Jadi bagaimana menurut anda mengenai status wanita dalam Islam

Barker: Saya pikir ini adalah bagian dari diskusi internal di dalam keyakinan itu sendiri. Dalam film, kepala kompetisi mengatakan 'Kami meyakini bahwa wanita dan pria sederajat." Jadi Kairo sebenarnya adalah salah satu kompetisi hafidz internasional utama yang membolehkan gadis berkompetisi melawan anak laki-laki. Itu salah satu alasan saya memilih ini. Saya pikir di sana banyak wanita Muslim yang memiliki reaksi keras akan berkata. "Tak ada satu pun dalam Alquran yang melarang seorang wanita bekerja dan berpendidikan. Ia tak harus menjadi ibu rumah tangga."

Saya pikir juga banyak gadis Muslim yang tidak setuju dengan ayah mereka dan berkata 'Lihat ada perbedaan antara Alquran dengan teks-teks suci lain yang disebut Hadist, yakni sabda dan kisah hidup Muhammad menjalani kehidupannya. Banyak intepretasi yang kita dengar bagaimana Muslim harus menjalani hidupnya kerap datang dari Hadist. Dan ada ribuan Hadist, itu salah satu alasan munculnya kontroversi, karena orang mengintepretasikan kerap dalam kontradiksi

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement