REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Moratorium atau penghentian sementara pemberian remisi dan pembebasan bersyarat bagi koruptor tidak melanggar aturan. Lebih jauh lagi, moratorium itu sejalan dengan upaya pemberantasan korupsi.
"Tidak bertentangan dengan aturan perundang-undangan karena sejalan dengan agenda pemberantasan korupsi," kata Wakil Menteri Hukum dan HAM RI, Denny Indrayana melalui pesan singkatnya kepada Republika, Senin (31/10).
Denny mengatakan, moratorium itu untuk memberikan efek jera pada para koruptor. Selain itu, untuk memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat.Menurutnya, moratorium itu memang belum dilakukan secara total bagi seluruh koruptor.
Terutama, bagi whistle blower atau pelaku pelapor yang tetap akan diberikan pengecualian. Namun, pemerintah akan menyeleksi dengan ketat pemberian remisi dan pembebasan bersyarat itu.
Sebelumnya, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Padjajaran Gde Pantja Astawa mengatakan, pemerintah tidak bisa melakukan moratorium pemberian remisi maupun pembebasan bersyarat tanpa dasar yang kuat. Aturan tentang remisi maupun pembebasan bersyarat merupakan hak setiap narapidana yang secara resmi diatur oleh undang-undang.
"Kalau mau bicara moratorium, harus pakai dasar. Revisi dulu undang-undangnya," kata Pantja saat dihubungi Republika, Ahad (30/10).
Menurutnya, jika pemerintah tetap melakukan moratorium remisi dan pembebasan bersyarat sebelum melakukan revisi undang-undang, maka pemerintah telah menyalahgunakan wewenangnya untuk melanggar aturan. Hal tersebut akan menjadi contoh buruk yang dilakukan pemerintah bagi masyarakat