REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Kisruh di tubuh Freeport membuat perusahaan penambangan emas di Papua itu, mampu berproduksi dalam kapasitas minimal yakni lima persen dari kondisi normal yang mencapai 230.000 ton bijih per hari. Kondisi itu disampaikan irjen Mineral dan Batu bara Kementerian ESDM Thamrin Sihite di Jakarta, Rabu (2/10)
Untuk pengolahan konsentrat, katanya, Freeport telah menghentikan operasinya secara total. Asisten Manajer Pelayanan Teknis Smelting Bouman Tiroi Situmorang saat dihubungi wartawan, belum mau berkomentar terkait kondisi "force majeure" Freeport.
Pada kondisi normal, Smelting menerima pasokan konsentrat Freeport sebanyak empat kapal dengan total kapasitas 80.000-88.000 ton per bulan.
Sejak 22 Oktober lalu, Freeport sudah mengumumkan kondisi darurat (force majeure) kepada para pembeli menyusul terganggunya operasi pabrik pengolahan konsentratnya.
Hal tersebut merupakan dampak aksi mogok kerja ribuan karyawan Freeport dan ditambah aksi anarkis berupa pemblokiran jalan, serta pemotongan pipa BBM dan konsentrat yang dilakukan orang tidak dikenal.
Anggota Komisi VII DPR RI Dito Ganinduto meminta pemerintah dan Freeport segera menyelesaikan masalah keamanan dan gaji karyawan. "Masalah ini sudah terlalu lama dan mesti segera diselesaikan," katanya.
Selain berdampak pada penerimaan negara, menurut dia, persoalan tersebut juga akan mempengaruhi iklim investasi di Indonesia.