REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Pengacara Andi Muhammad Asrun selaku pemohon uji materi (judical review) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Pasal 8 dan Pasal 11 mengaku mendapat teror. Bentuk teror yang dialaminya adalah seringnya belasan intelijen kepolisian mendatanginya, baik ketika berada di rumah maupun di kantor jam kerja.
Bahkan, Rabu (2/11), tanpa ada pemberitahuan rumahnya didatangi rombongan intel dengan alasan akan digunakan untuk rekonstruksi tersangka. Padahal ia tak pernah terlibat kasus tertentu, dan aparat tak pernah memberitahu siapa tersangka yang dimaksud.
Karena merasa diteror itulah, pihaknya melaporkan masalah itu ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. "Ya, tapi santailah, risiko pekerjaan," ujar Asrun kepada Republika, Kamis (3/11) pagi.
Adapun, Mahkamah Konstitusi (MK) pada pukul 11.00 menggelar sidang lanjutan UU Kepolisian dengan agenda mendengarkan kesaksian dari pemerintah. Mereka yang hadir adalah Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana, Wakil Kapolri Komjen Polisi Nanan Soekarno, dan beberapa anggota Komisi III DPR.
Dalam tuntutannya, Andi Asrun menilai keberadaan Polri di bawah langsung Presiden menimbulkan institusi penegak hukum itu mudah diintervensi kekuasaan. Karena itu, dalam permohonannnya dicantumkan agar Polri berada di bawah naungan Kementerian Dalam Negeri, agar ketika menangani kasus yang melibatkan penguasa bisa lebih independen.
Menurut Asrun, Pasal 30 Ayat 4 UUD 1945 hanya menjelaskan, Polri sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, dan menegakan hukum. "Tidak ada satu kalimat pun kepolisian langsung di bawah presiden," katanya.
"Berbeda dengan kedudukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang secara tegas Pasal 10 UUD 1945 yang menyatakan presiden memegang kekuasaan tertinggi atas angkatan laut, darat, dan udara," kata Asrun.