REPUBLIKA.CO.ID, Israel kemarin melakukan uji coba balistik peluru kendali yang diyakini memiliki jelajah jarak jauh dan mampu mencapai Iran. Uji coba dilakukan di tengah debat yang dipicu laporan negara bahwa Perdana Menteri kini tengah mengumpulkan dukungan untuk mengesahkan serangan ke fasilitas nuklir Iranm
Meski menurut pejabat, uji coba itu telah direncanakan sejak lama, peluncuran misil dari pangkalan udara Palmachim dekat Tel Aviv itu menimbulkan spekulasi terhadap niat Israel. Sebelumnya muncul isyarat kuat bahwa ada diskusi serius di dalam Kabinet mengenai pilihan tindakan militer.
Pejabat pertahanan memberi bebarap detail mengenai peluncuran, namun Menteri Pertahanan Israel, Ehud Barak, mengatakan itu adalah 'pencapaian teknologi luar biasa'. Ia menambahkan uji coba berhasil membuktikan lagi bahwa para pakar, teknisi dan staf di industri pertahanan Israel berada di puncak tertinggi.
Uji coba juga dilakukan beberapa hari sebelum publikasi laporan terkini Badan Energi Atom Internasional (IAEA) yang akan dirilis pekan depan, di mana memuat pendapat pakar Israel yang menyatakan antisipasi bisa membantu memastikan bahwa Iran hanya berjarak dua atau tiga tahun dari kemampuan memproduksi senjata nuklir bila negara itu memutuskan mengejar ke arah sana.
Tingkat komentar yang muncul di publik--termasuk para politisi yang terlibat alam diskusi strategi terhada Iran yang seharusnya rahasia--, Rabu (2/11) mendorong Deputi Perdana Menteri, Dan Meridor berkomentar bahwa ide itu adalah 'gila dan memunculkan situasi serius' bila isu keamanan sensitif tersebut dibahas secara terbuka.
Meridor, yang bertanggung jawab atas urusan intelijen Israel, menyatakan dalam wawancara dengan harian Maariv, bahwa debat publik mengenai isu itu adalah skandal. "Saya pikir kita tak pernah punya gagasan macam itu. Kita membicarakan tentang kemampuan dasar negara untuk berfugnsi. Tak setiap isu bisa dikonsumsi untuk publik," tegasnya.
Meski ia memiliki pandangan mengenai bahaya ancaman Iran, namun ia menegaskan bahwa langkah apa pun terkait itu akan dipimpin oleh US.
Namun, pernyataan Meridor bertepatan dengan laporan kemarin, kali ini dirilis Haaretz, yang mencatata bahwa Netanyahu dan Barak telah mengubah menteri luar negeri Avidgor Lieberman yang awalnya skeptis, menjadi mendukung pandangan serangan militer terhadap Iran.
Lieberman hanya meberi isyarat sedikit apakah laporan tersebut benar atau tidak, dengan hanya mengatakan 99 persen dari semua lapora tak memiliki kaitan dengan kenyataa. Namun kepada pers ia menekankan potensi bahaya yang dimiliki Iran terhadap ketertiban dunia dan karena itu ia meminta komunitas internasional menghentikan itu.
Ia menambahkan berkata, "Komunitas internasional harus membuktikan kemampuan membuat keputusan dan menerapkan lewat sanksi terhadap bank-bank central Iran dan juga lewat penghentian pembelian minyak.
Yossi Alpher, seorang pengamat pertahanan dan politik terkemuka Israel sekaligus mantan pejabat senior Mossad, mengatakan bahwa Iran tak diragukan membawa ancaman bagi Israel dan pernyataan dari para menteri cukup jelas menyatakan bahwa ada diskusi serius yang berlangsung di pemerintahan.
Namun tidak pasti apakah para pemimpin Israel meningkatkan diskusi ke arah operasi serangan militer atau hanya pada pencarian dukungan komunitas internasional untuk memperketat sanksi kepada Iran. Apa pun itu, Alpher menyatakan Israel seharusnya mempertimbangkan pilihan militer dari dalam negeri bila 'pedang sudah mengancam tepat di urat leher'.
Sementara para pejabat dari kantor Netanyahu tetap menutup mulut rapat-rapat terhadap isu tersebut. Namun sang PM menggunakan kesempatan pidato pada pekan ini untuk menyatakan, "Nuklir Iran adalah ancaman langsung terhadap keamanan Timur Tengah dan seluruh dunia. Dan tentu saja ancaman langsung pula kepada kita."
Menanggapi laporan dari Israel, kepala staf gabungan militer Iran, Hassan Firouzabadi, seperti dikutip ISNA, Rabu (2/11) berkomentar, "Pejabat AS tahu betul bahwa serangan militer dari Rezim Zionis terhadap Iran akan menimbulkan kerusakan besar secara serius baik terhadap AS maupun rezim Zionis itu sendiri."