REPUBLIKA.CO.ID, TII: JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menduga adanya indikasi gratifikasi dalam pemberian dana imbalan dari PT Freeport Indonesia kepada Polri sebesar 14 juta dolar AS pada 2010.
Namun menurut Transparency International Indonesia (TII), kalaupun berindikasi gratifikasi, Freeport tidak dapat ditindak oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Karena Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi di Indonesia belum ada yang mengatur 'foreign bribery' (praktik suap internasional)," kata Frenky Simanjuntak, Kepala Departement Economic Government TII, dalam jumpa pers di kantor TII, Jakarta, Kamis (3/11).
Frenky mengatakan, di Amerika Serikat, Freeport McMoran dilaporkan United Steelworkers kepada US Departement of Justice karena terindikasi melakukan pembayaran ilegal kepada aparat keamanan di Indonesia. Hal ini menurut laporan United Steelworkers berpotensi melanggar undang-undang AS mengenai penyuapan luar negeri atau Foreign Corrupt Practice Act.
Dalam UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), hanya membatasi tindak pidana suap yang melibatkan penyelenggara negara. Sedangkan lembaga internasional di Indonesia, swasta nasional dan swasta internasional di Indonesia, dalam hal ini Freeport, tidak dapat dijerat dengan UU ini.
Maka itu, pihaknya mendorong agar pasal 16 dan pasal 21 United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) dapat diadopsi dalam UU Tipikor. Kedua pasal itu mengatur tentang suap pejabat publik asing dan pejabat organisasi internasional serta suap di sektor swasta.
Selain itu, UU Tipikor juga perlu mengadopsi konvensi Organisation for Economic Co-operation dan Development (OECD) tentang praktik suap internasional. "TII mendesak pemerintah RI untuk segera mengadopsi konvensi UNCAC dan OECD dalam UU Tipikor khususnya terkait dengan foreign bribery agar dapat menjerat perusahaan dan lembaga asing yang melakukan suap di Indonesia," tandas Frenky.