Rabu 09 Nov 2011 02:17 WIB

Oh Asli Inggris? Jadi Muslim karena Jatuh Cinta dengan Pria Arab? Bagi Isra Sungguh Pandangan Dangkal

Rep: Dwi Murdianingsih/YouTube/ Red: Ajeng Ritzki Pitakasari
Isra, mualaf asal Inggris
Foto: Screenshot/YouTube
Isra, mualaf asal Inggris

REPUBLIKA.CO.ID, Di saat media memojokkan Islam dengan mengatakan Islam identik dengan teroris dan  fanatik, wanita muda asal Inggris ini justru tertarik untuk mempelajari Islam. 

 

“Islam memiliki citra yang murni, tapi di sisi lain identik dengan teroris yang fanatik. Umat Islam membaca Alquran, tapi mereka ‘memegang pistol’.  Perempuan dipaksa untuk menutup aurat, mereka tertindas dan menjadi budak suami," ujarnya

 

Seperti itulah gambaran hal umum di media massa yang banyak bercerita tentang Islam. Tapi, dari berita miring itulah yang membuat Isra, tertarik untuk mempelajari Islaam. “Aku berusaha mencari tahu (kepada orang Islam) mengapa mereka menyebut dirinya muslim, dan apa itu Islam. Aku sungguh sangat penasaran,” ujarnya.

 

Titik balik Islam

Isra yang mendalami ilmu hukum, banyak mendapatkan melihat kasus pidana. Ia mencari informasi ke masyarakat dan bertanya-tanya mengapa banyak sekali kejahatan terhadap anak-anak, mengapa orang melakukan penyalahgunaan narkoba, kecanduan alkohol, memperkosa, membunuh. Ia berpikir pasti ada alasan mereka melakukan kejahatan itu. Tanpa disangka, pencarian informasi kepada masyarakat perlahan mengiringnya untuk mengenal Islam.

 

Saat memutuskan memeluk Islam, Isra masih berumur 21 tahun. Ia berpindah agama setelah terjadi kasus yang menimpa  James Bulger.  James adalah seorang bocah berusia dua tahun. Ia dibunuh oleh dua anak usia sepuluh tahun.  Saat melihat video bukti pembunuhan tersebut, ia melihat ada sekitar 30 orang yang menyaksikan peristiwa itu, tetapi mereka hanya diam saja tanpa berbuat apapun.

 

“Ini jelas sekali menunjukkan mentalitas masyarakat Inggris. Mereka enggan berbuat sesuatu yang tidak membawa keuntungan bagi mereka. Mereka bahkan tidak akan menolong seseorang yang nyaris tenggelam jika tidak memiliki kepentingan apapun,” kata dia.

 

Melihat hal itu, hatinya bergejolak. Ia merasa apa yang dilihatnya bertentangan dengan hati nurani. Ia merasa tak ingin berhubungan dengan masyarakat yang memiliki mental seperti itu. "Aku tidak ingin menjadi bagian dari masyarakat ini. Saya ingin cara lain untuk hidup,” ujar dia.

 

Ia juga menganggap orang-orang Inggris tak memiliki rasa keimanan dalam sistem peradilan. “Jika mereka telah melakukan kejahatan dan ketahuan  mereka hanya akan mengatakan ‘saya tidak menyangka akan tertangkap’. Hal ini membuat mereka tidak berpikir dua kali untuk melakukan tindak kejahatan,” ujar dia.

Ia merasa seharusnya ada konsep yang menerangkan bahwa setiap kehidupan ini berakhir pasti akan ada hari dimana mansia harus bertanggungjawab terhadap semua perbuatannya. Konsep seperti ini yang membuat orang berfikir dua kali untuk melakukan kejahatan.

 

Semakin ia melihat mental seperti itu, membutanya ingin segera mencari ‘kehidupan yang seharusnya’. “Aku benar-benar tak ingin menjalini hidup dengan mentalitas yang seperti mereka. Pergi ke gereja setiap Minggu tapi selalu kembali pada kehidupan masyarakat yang menyediahkan dan sangat menyengsarakan,” kata dia. Hal ini tidak memuaskan kehidupan rohaninya.

 

Banyak orang yang berpikir ketika orang Inggris memeluk Islam maka sudah pasti mereka jatuh cinta pada pria Arab. Pertanyaan dengan nada itu pula yang ia dapat begitu orang-orang mengetahui ia telah menjadi Muslim. "Ah kamu asli orang Inggris. Jadi kamu jatuh cinta dengan pria Arab? Pertanyaan itu itu baginya sungguh tak masuk akal.

Ia bahkan menginginkan untuk meningkatkan kepahamannya tentang Islam lebih dulu sebelum memutuskan ungtuk berkomitmen hidup dengan seseorang.  “Orang yang memeluk Islam karena mereka dikaruniai intelektual dan petunjuk Allah melalui Alquran yang diturunkan keapda Nabi, bukan semata-mata jatuh cinta pada pria Arab” ujar dia.

 

Masyarakat barat selalu mengira Islam terbelakang dan menindas. “Tapi kenyataannya masyarakat  barat yang meindas dan mereka yang terbelakang. Pada kenyataannya, Islam adalah agama yang membebaskan kita hidup sesuai dengan aturan Allah,” katanya.

Saat berdiskusi dengan sesama orang muslim, bahkan sebelum ia memeluk Islam, ia telah merasakan Islam bukanlah tentang ekstrimisme, penindasan atau kebiadaban.

 

Islam adalah sesautu yang mengenalkan manusia kepada sang Pencipta. Sebagai contoh, jika kita ingin mengetahui bagaimana komputer bekerja, maka kita seharusnya bertanya kepada pembuat koputer. Begitu pula manusia. Kita akan mengetahui apa yang terbaik untuk diri kita jika bertanya kepda sang pencipta.

 “Jadi mengapa saya harus bertanya kepada sesama manusia untuk mengetahui apa yang terbaik dalam hidup saya? Apalagi bertanya kepada John Mayor atau George Bush tentang hidup saya. Menurutnya semua cukup ditanyakan kepada Allah saja,” kata dia.

 

Ia menganggap semua yang dikatakan media tentang Islam seharusnya bisa membuat seseorang lebih tertarik untuk mempelajari Islam. Yang ia rasakan, semakin mereka menyerang dengan menyebut islam sebagai 'fundamentalis' semakin banyak orang melihat ke dalam Islam dan mengetahui apa itu sesungguhnuya terorisme, apa yang fanatik.  Menurut dia justru sangat memalukan bagi orang yang mempercayai begitu saja apa yang dikatakan oleh media tentang islam.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement