REPUBLIKA.CO.ID, AMMAN - Menurut PBB, sedikitnya 3500 peduduk Suriah tewas ketika militer melaksanakan operasinya untuk menghentikan para pemrotes yang menentang rezim Presiden Bashar al-Assad di Homs, Selasa (8/11).
“Angka kematian itu berasal dari beberapa sumber yang dapat dipercaya baik di dalam atau luar Suriah yang kemudian dibenarkan oleh HAM PBB,” ujar juru bicara Komisioner PBB, Ravina Shamdasani. Estimasi tersebut menurutnya masih lebih rendah dibandingkan survey lainnya. Aktivis Suriah menyebutkan angka warga sipil yang tewas sebanyak 4200.
Dalam laman antiwar, dinyatakan kekerasan terus berlanjut. Padahal, Suriah telah menandatangani rencana Liga Arab, yakni pada Rabu (2/11). Suriah telah menyetujui untuk membebaskan tahanan politik dan menarik tank dan tentara dari kota. Persetujuan itu pun berisi kesepakatan untuk berbincang dengan oposisi mengenai penggantian Assad dengan pemerintah yang lebih demokratis.
Pemerintah Suriah memang telah membebaskan 553 tahanan pada Sabtu (5/11). Namun puluhan ribu orang masih dihukum dan ratusan orang ditangkap secara acak setiap harinya. Setelah perjanjian itu pun lebih dari 60 orang tewas dibunuh pasukan militer dan keamanan. Jumlah tersebut termasuk sedikitnya 19 orang yang tewas ketika Idul Adha
Para tentara yang setia pada Assad memperpanjang waktu pengawasan di Homs setelah melakukan pembombardiran selama enam hari. Menurut penduduk Homs, tentara telah memasuki pemukiman penduduk pada Senin (7/11) dan memperkuat pengawasan.
Pemerintah menggunakan tank dan senjata berat untuk menyerang area pemukiman di Homs. Tentara merazia rumah-rumah dan menembaki pemukiman. Mereka pun menewaskan empat warga sipil. Dua diantaranya adalah wanita.
Situasi di Bab Amr juga mengerikan. “Jumlah tentara di Bab Amr mencapai ribuan dan penjarahan juga semakin merajalela,” ujar Sami, seorang penduduk. Ia melihat para tentara menjarah kulkas, televisi, dan layar komputer. Mereka membawa benda jarahan dengan mobil jip dan truk.
Para remaja pun dikumpulkan di halaman sekolah dengan posisi telentang dan tangan diikat di belakang. Kejadian ini tidak dapat dibuktikan kebenarannya karena pemerintah melarang wartawan meliput.