REPUBLIKA.CO.ID,SEMARANG – Dinas Kesehatan Kota Semarang terkesan angkat tangan terhadap keberlangsungan nasib 50 pasien gagal ginjal yang mengalami pembatasan jaminan cuci darah. Karena pembatasan tersebut dipandang sebagai kebijakan dari Walikota Semarang.
Kepala Dinas Kota Semarang, Niken Widya Hastuti, mengatakan pemberlakuan pembatasan tersebut menjadi kewenangan Walikota sepenuhnya. “Itu yang membuat aturan kan Pemkot, kami tidak berani mencampurinya,” ujar Niken saat dihubungi Republika, Kamis (10/11).
Berdasarkan UU Kesehatan Nomor 23 Tahun 2009, kesehatan merupakan hak dan kewajiban setiap warga, masyarakat, individu dan juga kelompok. Untuk itu Niken meminta warga jangan hanya menuntut hak nya saja tetapi harus juga menjalankan kewajibannya. “Pemkot sudah membantu warga dengan Jamkesmaskot, tapi kan warga juga harus bisa menjaga kesehatannya sendiri. Tidak bisa semua biaya ditanggung oleh Pemkot,” jelas Niken.
Dirinya mengklaim apa yang sudah diberikan Pemkot Semarang berupa jaminan cuci darah sudah jauh lebih baik dibanding kabupaten/kota lain di sekitarnya. “Demak itu hanya sembilan kali, Ungaran dan Kendal maksimal dua kali cuci darah,” kata Niken.
Adanya pembatasan maksimal sepuluh kali cuci darah, lanjut Niken, dari awal sudah diketahui warga penderita gagal ginjal. “Sejak Juli atau Agustus lalu sudah ada pemberitahuan cuci darah akan dibatasi,” ujarnya.
Wanita berkerudung ini mengaku tak mengetahui pasti latar belakang adanya pembatasan ini. “Tapi pasti ada penyebab Pak Wali mengeluarkan kebijakan pembatasan,” ucapnya.
Tahun ini, Dinas Kesehatan Kota Semarang mendapat dana dari APBD sebesar Rp 13 miliar. Dana ini diakui Niken memang telah habis, namun bukan inilah yang menjadi penyebab rumah sakit tak bisa lagi memberikan pelayanan cuci darah gratis. “Kalau APBD sudah habis kan bisa ditambah dengan APBD peruban,” kata Niken.