REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Gejolak krisis ekonomi zona euro belum berakhir. Ancaman datang dari Italia. Bila negara itu benar-benar diterpa krisis risiko efeknya lebih besar dibandingkan persoalan di Yunani. Indonesia harus tetap menjaga kemampuan konsumsi domestik serta belanja pemerintah guna mengantisipasi tekanan yang lebih besar.
"Karena ekonomi Italia itu kan lebih besar dibandingkan Yunani, bahkan empat kalinya. Maka implikasinya terhadap krisis golbal makin besar," ujar Wakil Menteri Keuangan Anny Ratnawati, di Komplek Istana Negara, Kamis (10/11).
Gejolak krisis di Italia memasuki fase baru seiring melonjaknya tingkat imbal hasil surat utang pemerintah. Tingkat imbal hasil surat berharganya melonjak hingga 7,502 persen, tertinggi sejak euro diperkenalkan pada tahun 1999.
Tingkat imbal hasil 7 persen adalah sama dengan negara-negara Eropa yang sedang mencari dana talangan akibat melonjaknya biaya-biaya utang seperti Irlandia dan Portugal.
Implikasi dari beragam tekanan krisis ini menurut Wamenkeu berdampak kepada melemahnya ekspor Indonesia.
Hal itu tidak lepas dari menurunnya permintaan pasar internasional akibat melesunya perekonomian global. Belum lagi dampaknya kepada penurunan harga produk-produk di pasar internasional.
Ekses lain yang perlu diwaspadai yakni dampaknya ke perbankan. Namun, menurut Anny kondisi perbankan di dalam negeri cenderung baik.
Salah satunya terlihat dari rendahnya angka non performing loan (NPL). "Kondisi perbankan kita baik,"terangnya.
Aliran modal masuk diprediksi masih akan terus mengalir ke dalam negeri jika melihat krisis yang terjadi di Eropa dan Amerika sekarang. Tetapi Anny memperkirakan jumlahnya tidak terlalu besar dibandingan pada tahun ini.
Menurut dia yang terpenting adalah bagaimana aliran modal ini bisa menjadi potensi yang bisa dimanfaatkan untuk dalam negeri. "Domestik harus siap agar itu masuk ke sektor riil. Tetapi sebetulnya aliran modal ini lebih ke merupakan kesempatan," terangnya.