REPUBLIKA.CO.ID, Lahir di keluarga yang mengalami kesulitan ekonomi memebuat masa kecil Viviana Espin dilalui dengan tak begitu mulus. Ayahnya sering bersikap kasar. Ibunya sangat penurut.
Karakter kasar sang ayah mengakibatkan ia menghabiskan masa kecil cukup keras. Beruntung, ibunya rajin mengajarinya membaca sejak kecil. Sang ibu banyak mengajarinya kata-kata dalam bahasa Inggris. Espin tumbuh menjadi gadis cilik yang cukup cerdas. Ia bahkan sudah bersekolah sejak umur empat tahun.
Espin kecil saat itu dikirim ke sekolah Katolik. Ibunya mengirimkan ke sekolah katolik agar Espin dekat dengan Tuhan. "Ayahku juga suka aku sekolah disana. Itu adalah salah satu sekolah terbaik di kota kami. Ia bisa menyombongkan diri bahwa aku sudah bersekolah kepada teman-temannya," kata wanita asal Ekuador ini.
Teman-temannya beberapa tahun lebih tua dan Ia tentu saja menjadi siswa paling muda di kelas. Sebagai murid paling kecil, Espin kerap dijadikan bahan permaian teman-temannya. Tak sekali dua kali rambutnya ditempel permen karet. Kadang barang-barangnya dicuri, makanannya dibuang ke tempat sampah.
Keadaan ini membuat kepala sekolah memutuskan untuk memperlakukannya dengan spesial. Ia diberi kesempatan untuk banyak menghabiskan waktu di ruang kepala sekolah atau sekretaris sekolah ketika sedang jam istirahat. Karena itu merupakan sekolah Katolik, hampir semua guru, kepala sekolah, dan direktur adalah biarawati. “Jadi ketika istirahat, aku tidak bermain di halaman dengan anak-anak lain,” ujar dia.
Sejak saat itu Espin sangat dekat dengan guru-gurunya. “Mereka mulai untuk membiarkan saya tinggal bersama mereka di rumah mereka," kata Espin. Rumah para guru masih berada di samping tanah sekolah.
Keutuhan keluarga Espin tak berlangsung lama. Orang tuanya memutuskan untuk bercerai saat ia berusia delapan tahun. Efek dari perceraian itu membuat ibunya menjadi lebih religius. "Ia mulai untuk mengontrol aku begitu banyak. Kadang-kadang itu baik, dan terkadang tidak,” tuturnya.
Perceraian itu juga memberikan pengaruh yang cukup besar bagi Espin. Ia sempat mengalami hal traumatis. Ia kian suka menyendiri berada di tempat yang sepi, agar bisa berbicara dengan alam.
Salah satu tempat favoritnya adalah di halaman sekolah. Ia merasakan banyak kedamaian ketika menyendiri. “Berbaring di halaman sekolah, menikmati melihat langit dan merasakan angin. Hal ini terasa begitu damai,” ujar Espin. Ia juga menikmati saat-saat ‘curhat’ dengan para biarawati.
Ia merasa begitu disayang dan dihargai oleh para biarawati. Ia merasakan bahwa satu-satunya agar bisa ‘berlari’dari masalah adalah deka dengan Tuhan. Saat usia 12 tahun, Espin memberitahu ibunya bahwa ia ingin menjadi seorang biarawati.
Alangkah marah sang ibu mendengar keinginan putrinya itu. “Ibu bilang ia senang aku dekat dengan Tuhan. Tapi ia ingin aku memberikan cucu-cucunya kelak, sehingga dia tidak membiarkan aku bergabung dengan biarawati,” kata Espin.
Setelah mendengar jawaban negatif dari sang ibu, ia memutuskan untuk lebih dekat dengan Tuhan. Espin memutuskan untuk mempelajari dan memahami dengan lebih baik apa yang dikatakan di Alkitab.
Setelah ia mulai menggunakan kesadarannya saat membaca ia justru menemukan banyak hal yang tidak masuk akal. Banyak kontradiksi dan di beberapa bagian ada yang lebih mirip sebagai opini pribadi dibandingkan dengan kata-kata Tuhan karena banyak bagian yang tidk lengkap.
"Itu mendorong aku untuk perlu tahu di mana sisanya agar bagian itu menjadi lengkap. Dalam pandanganku semuanya serba tidak jelas dan tak logis,” kata dia.
Untuk membantu menemukan ‘bagian yang hilang’, ia mulai membaca buku agama dan mencari di internet. Ia menemukan informasi tentang Yudaisme, Buddhisme, Agnostisisme, Hindu dan Kristen, dan sekte-sekte yang berbeda lainnya.
Masih, tak ada satupun yang memuaskan logika Espin. Saat itu, ia mengaku tak tertarik untuk mencari tentang Islam. Baginya sudah terlalu banyak pemberitaan buruk tentang Islam. “Tapi pada akhirnya, aku memutuskan untuk membaca Islam. Aku ingin melihat apakah ini merupakan jawaban terakhir yang logis soal beragama,” ujar dia.
Begitu ia mulai menengok agama ini, ia menemukan sesuatu yang sama sekali berbeda. Islam baginya sangat masuk akal. “Islam bisa menjawab pertanyaan tentang ‘berapa banyak Tuhan yang ada’,” kata Espin. Jawaban ‘hanya satu’ kemudian menjawab pertanyaanya tentang Yesus yang ada di Alkitab. Saat itu, ia sadar bahwa Alkitab telah berubah. Ia lantas membaca riwayat hidup Nabi Muhammad SAW.
“Aku jadi tahu bahwa Ia sangat dekat dengan Musa. Kenapa aku tidak percaya pada utusan terakhir dari Allah? Padahal semua nabi datang dengan pesan yang sama,” katanya. Semua itu membuatnya yakin ia akhirnya telah menemukan agama yang benar.
Saat itu, Espin berumur 17 atau 18 ketika memberitahu ibunya ingin berubah agama menjadi muslim. Espin mengatakan pada ibunya bahwa ia sering pergi ke Islamic Center di kota dan belajar lebih banyak.
Sang ibu kembali marah. Tak tanggung-tanggung, kali ini ibu mengancam jika Espin berubah agama, ia harus meninggalkan rumah. “Jadi aku mengatakan kepadanya bahwa aku hanya bercanda untuk membuatnya melupakan masalah ini,” kata dia.
Khawatir Espin tetap kokoh dengan pendiriannya, sang ibu menghubungi bibi. “Bibi membawakan sebuah buku melawan Islam,” kata Espin. Cukup terpengaruh, Espin sejenak merasakan keraguan. Sempat ia membuang keinginan untuk menjadi muslim, namun ia sudah tak bisa lagi menjadi seorang nasrani karena sudah tak bisa nyaman dengan ajaran Kristen.